12 Alasan
penolakan RUU Kamnas
Dalam draft
RUU Kamnas yang diajukan pada tanggal 23 Oktober 2012, yang telah memangkas 5
(lima) pasal dari draft sebelumnya, sehingga menjadi 55 pasal. Namun demikian,
RUU Kamnas ini telah keliru sejak penyusunannya, akibatnya seluruh pasal yang
dimuat dalam RUU ini telah melabrak supremasi sipil.
Mengapa RUU
Kamnas Harus Ditolak walaupun telah memangkas 5 (lima pasal). Karena seluruh
pasal bermasalah. RUU ini disusun oleh Kementerian Pertahanan cq Dewan
Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI, yang mengakibatkan seluruh perspektif
keamanan dalam RUU ini menjadikan domain utama dalam penyelenggara keamanan
adalah militer, jelaslah ini sangat bertentangan dengan konsep keamanan dan
pertahanan negara yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.
Ruang
Lingkup Keamanan Nasional (pasal 5 s/d pasal 15)
Pertama,
Status Keadaan Keamanan Nasional meliputi tertib sipil, darurat sipil, darurat
militer dan perang (pasal 10) dan keadaan Bencana (pasal 11). Artinya,
penyelenggaraan keamanan dalam RUU ini mulai dari situasi tertib hingga perang.
Pasal ini membuka peran militer sebagai unsur keamanan nasional dapat terlibat
aktif dalam situasi apapun. Hal ini akan sarat dengan pelanggaran HAM.
Ancaman
Keamanan Nasional (pasal 16 s/d pasal 17)
Kedua, dalam
Pasal 16 dan 17 memberikan legitimasi kepada unsur keamanan nasional dan daerah
untuk melakukan tindakan represif kepada individu maupun kelompok yang dianggap
“berpotensi” mengganggu stabilitas (tertib sipil). Kedua pasal ini menjadi
dasar hukum tindakan-tindakan militer (unsur keamanan nasional dan daerah) yang
dalam pasal-pasal selanjutnya dalam RUU ini mempertegas peran militer.
RUU ini
mencakup spektrum dan jenis ancaman yang sangat luas termasuk sekalipun sifatnya
masih potensial. Spektrum Ancaman dimulai dari ancaman paling lunak sampai
dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional
dengan berbagai jens dan bentuknya (pasal 16 ayat 1). Sasaran Ancaman terdiri
atas: a. bangsa dan negara b. keberlangsungan pemhangunan nasional; c.
masyarakat; dan d. Insani (pasal 16 ayat 2).
Ancaman
Keamanan nasional segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis Ancaman
yang terdiri atas: a . Ancaman Militer; b. Ancaman bersenjata; dan c. Ancaman
tidak Bersenjata (pasal 17 ayat 1). Masing-masing jenis Ancaman dapat
berkembang ke dalam berbagai bentuk Ancaman (pasal 17 ayat 2). Bentuk Ancaman
dapat bersifat potensial atau aktual (pasal 17 ayat 3).
Penyelenggaraan
Keamanan Nasional: (pasal 18 s/d pasal 51)
Ketiga, RUU
Kamnas ini memuat pembentukan Dewan Keamanan Nasional dan Forum Keamanan Daerah
yang terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap. Adapun anggota tetap
yang selalu ada adalah militer (pasal 20 s/d pasal 29). Artinya, militer selalu
terlibat dalam pelaksanaan keamanan terhadap ancaman dari ancaman yang paling
lunak, potensial, dan tingkat yang rendah sekalipun. Ancaman potensial (pasal
17) yang sangat subyektif (penguasa), sudah dapat ditindak secara represif
(disebutkan dalam pasal 35).
Keempat,
Walaupun Dewan ini diketuai oleh Presiden, namun pelaksana harian didominasi
oleh kekuatan Militer yang dipimpin oleh sekretaris Jenderal. Namun Sekretaris
jenderal Dewan Keamanan Nasional merupakan validasi dari Dewan Ketahanan Nasional
(Wantannas) TNI (ditegaskan dalam pasal 52 ayat 3). Dengan melebur Wantannas ke
dalam Dewan Keamanan Nasional, maupun seluruh penyelenggaraan keamanan yang
selalu melibatkan institusi militer, akibatnya telah mengaburkan batas antara
domain keamanan dan domain pertahanan. Hal ini akan memperlebar grey area dalam
menegakkan supremasi sipil. Akibatnya, RUU ini menjadi alat legitimasi peran
militer dalam wilayah penegakan hukum.
Kelima, RUU
Kamnas ini bukan hanya mengatur kebijakan strategis sebagaimana
pernyataan-pernyataan pers yang dilakukan oleh Menhan maupun Wamenhan.
Pernyataan tersebut merupakan “pembohongan publik”, karena RUU ini memuat
penyelenggaraan dan pelaksanaan operasional keamanan hingga tingkat
kabupaten/kota (pasal 30 s/d pasal 39).
Keenam,
Gubernur/Walikota/Bupati mampu mengaktivasi unsur militer melalui forum
keamanan daerah walaupun dalam situasi tertib sipil. Hal ini menyiratkan bahwa
unsur militer terdelegasikan kewenangannya di daerah. Padahal militer bukanlah
bagian dari kewenangan yang dapat didelegasikan ke pemerintah daerah
sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945. Konsep penyelenggaraan keamanan
yang melibatkan militer hanya dengan dapat diaktivasi melalui forum daerah,
maka jelas sangat bertentangan dengan UUD 1945, karena aktivasi militer harus
melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Ketujuh,
Penindakan dini yang dimaksudkan untuk mencegah meningkat dan meluasnya
intensitas ancaman yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya korban dan
kerugian yang lebih besar (pasal 35 ayat 2 point a), mengembalikan kondisi
keadaan menjadi tertib sipil dan stabil dengan melaksanakan tindakan represif
dan kuratif secara terukur (pasal 35 ayat 2 point c). yang dimaksud dengan
terukur yaitu penggunaan kekuatan sesuai dengan kebutuhan operasional
(penjelasan pasal 35 ayat 2 point c).
Pasal 35 ini
akan memberangus kebebasan sipil, karena pelibatan unsur militer menjadi teror
bagi individu/kelompok yang dianggap mengganggu seseorang (insani), masayarakat
atau keberlangsungan pembangunan nasional (sasaran ancaman ini dalam pasal 16
ayat 2).
Kedelapan,
Pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, dalam RUU ini disebutkan
merupakan laporan militer (Sekretaris Jenderal dari unsur militer, BIN, TNI),
dan pelaksanaan tersebut melibatkan militer sebagai unsur utama maupun sebagai
unsur pendukung (pasal 35 ayat 1). Lagi-lagi militer terlibat dalam pencegahan,
peringatan dan penindakan dini. Dengan atas nama “Penindakan dini” maka aparat
militer sebagai bagian dari unsur pelaksana forum keamanan daerah berwenang
melakukan tindakan represif dan kuratif terhadap individu/kelompok yang
diperkirakan (dianggap) pengganggu walaupun dalam situasi tertib sipil. Padahal
situasi tertib sipil merupakan domain polisionil dan berbagai perangkat hukum
yang telah berlaku.
Kesembilan,
Penanggulangan ancaman keamanan di Laut dan Udara (pasal 38 dan 39) menjadi
domain AL dan AU, sedangkan keterlibatan instansi terkait akan diatur kemudian
dengan peraturan pemerintah (pasal 38 ayat 2) dan UU baru (pasal 39 ayat 2).
Lagi-lagi peran militer dalam segala situasi (tertib). Pasal-pasal ini
menghilangkan kewenangan Aparat kepolisian di perairan laut dan para penyidik
instansi terkait lainnya yang telah diatur oleh UU (seperti DKP).
Kesepuluh,
Tataran kewenangan dan komando di daerah adalah militer (hanya institusi
militer yang dipimpin oleh Komandan sebagaimana disebutkan dalam pasal 48).
Jelaslah sudah bahwa RUU ini memang merupakan reinkarnasi dari dwifungsi ABRI
yang pernah ‘bersejarah’ di masa lalu. Kali ini hadir dalam jubah baru
“Kopkamtib ala Dewan Keamanan Nasional dan Forum Keamanan Daerah.”
Kesebelas,
RUU Kamnas ini membahas semua sektor, dan akan melabrak berbagai UU lainnya
yang telah ada (UU Polri, UU TNI UU Pertahanan Negara, UU PKS, dan 67 UU lainnya).
Dalam pasal 54 berbunyi: “Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Keamanan Nasional yang sudah
ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini”.
Pasal ini merupakan
Lex spesialis yang akan menggugurkan semua peraturan yang ada dan bertentangan
dengan RUU Ini.
Keduabelas,
RUU Kamnas ini mengaburkan batas keamanan yang merupakan domain aparatur
penegak hukum, dengan memasukkan unsur militer dalam wilayah penegakan hukum
tersebut. Kecurigaan akan kembalinya peran militer dalam ranah sipil kehidupan
bermasyarakat bukanlah mengada-ada atau tanpa alasan. Justru RUU Kamnas ini
secara jelas bagaimana peranan militer dilibatkan sekalipun dalam situasi
tertib sipil yang dilakukan dengan 2 tools dalam skema RUU ini yaitu dapat
melalui forum keamanan daerah melalui kepala daerah dan atau sebagai Komandan
yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap keamanan di daerah.
0 komentar:
Posting Komentar