ABOUT US

Our development agency is committed to providing you the best service.

OUR TEAM

The awesome people behind our brand ... and their life motto.

  • Neila Jovan

    Head Hunter

    I long for the raised voice, the howl of rage or love.

  • Mathew McNalis

    Marketing CEO

    Contented with little, yet wishing for much more.

  • Michael Duo

    Developer

    If anything is worth doing, it's worth overdoing.

OUR SKILLS

We pride ourselves with strong, flexible and top notch skills.

Marketing

Development 90%
Design 80%
Marketing 70%

Websites

Development 90%
Design 80%
Marketing 70%

PR

Development 90%
Design 80%
Marketing 70%

ACHIEVEMENTS

We help our clients integrate, analyze, and use their data to improve their business.

150

GREAT PROJECTS

300

HAPPY CLIENTS

650

COFFEES DRUNK

1568

FACEBOOK LIKES

STRATEGY & CREATIVITY

Phasellus iaculis dolor nec urna nullam. Vivamus mattis blandit porttitor nullam.

PORTFOLIO

We pride ourselves on bringing a fresh perspective and effective marketing to each project.

  • Model Represi Baru dalam RUU Ormas (1)

    Model Represi Baru dalam RUU Ormas (1)


    Saat ini, Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia bersama pemerintah sedang membahas rancangan undang-undang tentang organisasi masyarakat (RUU Ormas) yang nantinya akan menggantikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. Mungkin tidak banyak yang tahu keberadaan RUU ini menyisipkan pengaturan yang sangat ketat bagi organisasi masyarakat. Isu awal yang dinaikan oleh pembuat undang-undang bahwa RUU ini dimaksudkan untuk menindak organisasi pelaku kekerasan yang telah merugikan banyak pihak. Namun jika dilihat dari semangatnya, RUU akan mengontrol semua bentuk organisasi yang ada di Indonesia, menindak-nya dengan pembekuan bahkan pembubaran. 
    Tulisan ini akan sedikit mengulas pasal-pasal dalam RUU ini serta kemungkinan dampaknya bagi berbagai organisasi yang ada di Indonesia. Walaupun yang dikritisi adalah pasal per-pasal, bukan berarti pasal-pasal yang tidak disebutkan dalam tulisan ini mendukung kemerdekaan berserikat dan berkumpul, karna sesungguhnya seluruh bangunan RUU ini bermasalah secara hukum dan sosial.

    1.    Pengertian dan Ruang Lingkup Organisasi Masyarakat
    “Organisasi masyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisispasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Jika dilihat dari pengertian Ormas, seluruh bentuk organisasi nirlaba masuk kategori ormas, ketika 3 orang berkumpul dan mendirikan organisasi nirlaba, organisasi tersebut juga masuk kategori ormas. Organisasi buruh, tani, pedagang, didirikan atas dasar kepentingan peningkatan kesejahteraan dan hak-haknya. Mahasiswa, organisais profesi,organisasi kebudayaan dan seni, organisasi keagamaan, organisasi pemuda, lembaga swadaya masyarakat, didirikan atas dasar kesamaan tujuan dan kesemuanya turut berpartisipasi dalam pembangunan.
    Pengertian yang luas ini diperkuat dengan ketentuan ruang lingkup kegiatan organisasi masyarakat dalam pasal 7 RUU yang isinya adalah, ruang lingkup ormas mencakup bidang agama, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hukum, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sumber daya manusia, penguatan demokrasi pancasila, pemberdayaan perempuan, lingkungan hidup dan sumber daya alam, kepemudaan, olahraga, profesi, hobi dan seni-budaya. 
    Organisasi tani, buruh, pedagang masuk kategori organisasi yang memperjuangkan hak-hak ekonomi, mahasiswa salah satu bentuk organisasi kepemudaan, lembaga swadaya masyarakat bergerak hampir di seluruh ruang lingkup yang disebutkan oleh RUU ini. Pengajian, perkumpulan pecinta vespa, reunian, paguyuban tukang becak masuk dalam kategori ormas.

    2.    Pewajiban Pendaftaran, Syarat-syarat Pendaftaran, Verifikasi Dokumen, Diterbitkan Ijin/Tidak?

    Pasal 15 dan Pasal 16 RUU ormas menyebutkan pewajiban pendaftaran bagi seluruh organisasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Undang Undang Ketenagakerjaan memberikan hak bagi setiap pekerja untuk bergabung dalam serikat pekerja. Serikat pekerja ada yang berbadan hukum dan ada juga yang tidak. Bagi serikat pekerja yang berbadan hukum perkumpulan (didaftarkan di kementrian hukum dan HAM), harus mendaftarakan lagi perkumpulannya ke kementrian dalam negeri. Yang tidak berbadan hukum juga harus mendaftarkan diri ke kementrian dalam negeri untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Ketentuan ini juga berlaku bagi organisasi lain seperti organisasi mahasiswa, organisasi tani, organisasi pedagang, dan lainnya.
    Untuk mengurus SKT tidaklah mudah, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi, Pasal 16 ayat 2 menyebutkan bahwa organisasi harus menyertakan AD/ART, Program Kerja, Kepengurusan, akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris, surat keterangan tidak berafiliasi dengan partai politik, surat keterangan domisili, nomor pokok wajib pajak, surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan dan lain-lain. Ada banyak persyaratan yang tidak sesuai dengan realitas demokrasi, sebut saja surat keterangan kesanggupan melaporkan kegiatan, pewajiban mengurus akta pendirian di notaris untuk organisasi. 


    Beberapa organisasi buruh, organisasi petani seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), organisasi keagamaan seperti Nahdlatlul Ulama (NU), Muhammadiyah, memiliki kepengurusan di tingkat nasional juga daerah. Untuk organisasi dengan tipe seperti ini pengurusan SKT tidak hanya pada organisasi di tingkat nasional, di daerah (propinsi dan kabupaten) juga harus mengurus SKT. Organisasi seperti Nahdatlul Ulama misalnya, selain pengurus besar (PBNU) mengurus pendaftarannya di kementrian dalam negeri, pengurus cabang (PCNU) juga harus mengurus SKTnya di daerah masing-masing.
    Dalam pendaftaran setelah syarat-syarat dipenuhi bukan berarti SKT bisa diterbitkan, masih ada tahapan verifikasi dokumen yang dilakukan oleh menteri dalam negeri untuk organisasi di tingkat nasional, gubernur untuk organisasi ditingkat propinsi dan bupati untuk organisasi tingkat kabupaten. Tak hanya itu, setelah verifikasi menteri/gubernur/walikuta/bupati juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan/tidak menerbitkan SKT. Jika tidak memiliki SKT maka organisasi bisa disebut sebagai organisasi Illegal atau organisasi terlarang. Stigma ini bisa jadi dihidupkan kembali untuk mempersempit ruang gerak organisasi.
    Dasar diterbitkan atau tidaknya SKT juga sangat multitafsir. Dampak dari pengaturan ini bisa saja organisasi yang aktif mengkritisi kebijakan pemerintah akan dipersulit pendirian atau dipertanyakan keberadaannya. Organisasi buruh yang menuntut penghilangan praktek outsourching bisa saja dianggap sebagai organisasi terlarang dan tidak diterbitkan SKT-nya. Keberadaan beberapa pasal ini akan mempersempit ruang gerak organisasi dengan persyaratan administratif yang berbelit-belit dan rumit. Jika organisasi mengabaikan pengaturan ini, bisa saja pemerintah melalui menteri dan/atau gubernur dan/atau walikota mempertanyakan aktifitas organisasi dengan mempertanyakan SKT. 

    3.    Wadah Berhimpun atau Wadah Tunggal?
    Jika ketua Panitia khusus RUU Ormas selalu membuat statement bahwa RUU Ormas tidak represif dan berbeda dengan Undang Undang No. 8 Tahun 1985, dalam RUU Ormas yang masih di bahas masih muncul ketentuan mengenai wadah berhimpun. Walau tidak wajib organisasi tetap dianjurkan untk membuat wadah berhimpun untuk organisasi yang sejenis. Kita mengenal banyak jenis organisasi buruh seperti KASBI, Aliansi Buruh Menggugat, FSPI dan lain-lain, menurut RUU ini organisasi-organisasi ini dianjurkan untuk menjadi satu organisasi atau berhimpun. 
    Jika dirunut dari sejarah, wadah tunggal yang ada dalam RUU Ormas dimaksudkan agar organisasi mudah dikontrol dan dikooptasi. Dulu orgaisasi pemuda hanya ada satu yaitu KNPI, organisasi islam diwadahi MUI, katolik KWI dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa ambisi untuk mengontrol organisasi lebih besar dibandingkan memberikan hak kemerdekaan berserikat/berkumpul. 

    4.    Kewajiban Melaporkan Perkembangan dan Aktivitas Organisasi dan Persetujuan Pemerintah untuk Sumbangan Dana Asing
    Apabila organisasi akan mendapatkan sumber pendanaan dari lembaga/orang asing terlebih dahulu harus melaporkan atau mendapatkan persetujuan pemerintah. Ini berlaku bagi seluruh organisasi. Sehingga, bisa mendaptakan dana atau tidaknya tergantung dari keputusan pemerintah. Dalam keadaan aparat yang korup, ini bisa menjadi peluang korupsi baru, seperti proyek tender program pemerintah. Kemungkinan hanya organisasi sejalan dengan pemerintah yang bisa mendapatkan persetujuan pendanaan, atau sumber pendanaan diarahkan ke program-program pemerintah.
    Jika menerima pendanaan, maka organisasi juga wajib melaporkan perkembangan dan aktivitas organisasinya kepada pemerintah. Akan sulit jika organisasi buruh, organisasi mahasiswa, LSM memiliki program atau aktivitas yang mengkritisi ataupun mengawasi kinerja pemerintah atau kebijakannya. Karena dalam pelaporan ini sangat tergantung pada perspektif dari kementrian, gubernur, walikota/bupati, apabila perspektifnya masih represif maka pendekatan politik dan keamanan akan dikedepankan dengan mengambil kewenangan dari pasal ini. 

    5.    Larangan yang Multitafsir
    Beberapa larangan bagi Ormas adalah: Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan,bendera atau lambang negara Republik Indonesia; lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; atau yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Ormas atau Partai Politik lain. 
    Ormas dilarang: melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menyebarkan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan; memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; atau melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban, dan merusak fasilitas umum.
    Organisasi seperti pemuda Papua yang menolak penembakan warga sipil bisa saja distigma sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan atau keselamatan RI, karena dianggap membela organisasi sparatis misalnya. Organisasi buruh atau mahasiswa yang melakukan aksi mendapatkan represi dari aparat kemudian melakukan perlawanan bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kekerasan atau mengganggu ketertiban umum. Organisasi anti korupsi yang mencoba menjerat pejabat korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Beberapa contoh yang disebutkan sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara saat sidang pansus RUU ormas antara lain organisasi ICW, Kontras, WALHI, Green Peace. Maka kepada organisasi-organisasi ini sangat mungkin menjadi organisasi terlarang karena melakukan kegiatan yang dilarang.

    6.    Kewenangan Pemerintah (Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Walikota, Bupati) dalam Pembekuan Organisasi Masyarakat

    Apabila organisasi melanggar larangan yang ditentukan dalam RUU ini, maka pemerintah melalui kementrain dalam negeri, gubernur, bupati, walikota memiliki kewenangan untuk membekukan organisasi. Akibat hukum dari pembekuan juga tidak dijelaskan secara spesifik. Pengaturan ini akan semakin mendorong pemerintah mematikan organisasi yang tidak sejalan dengan programnya.
    Satu contoh yang mungkin akan terjadi misalnya, kasus penolakan pendirian pabrik semen di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pemerintah Kabupaten Pati mendorong pendirian pabrik semen. Berbagai upaya dilakukan untuk menghambat suara penolakan pabrik semen dari warga di Kecamatan Sukolilo. Pernah terjadi kekerasan oleh Brimob terhadap warga yang bersikeras menolak pendirian pabrik dengan alasan pabrik semen akan menghilangkan sumber penghidupan mereka. Jika RUU ini disahkan, sangat mungkin Bupati Kabupaten Pati menggunakan kewenangannya membekukan organisasi warga yang menolak pabrik semen. Setelah dibekukan maka warga tidak dapat lagi berkumpul untuk membicarakan perkembangan pembangunan pabrik semen. Jika warga melawan bisa saja bupati meminta aparat keamanan untuk menindak organisasi yang kemudian dianggap “terlarang” ini. 
    Jika melihat ketentuan yang demikian represif, masihkah anda ragu menolak RUU Ormas?

    (1) Naskah ini ditulis oleh Kristina Viri, staf divisi advokasi, riset dan kampanye YAPPIKA yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Berserikat (KKB)
  • Mengapa RUU Kamnas Harus Ditolak ?

    Mengapa RUU Kamnas Harus Ditolak ?


    12 Alasan penolakan RUU Kamnas

    Dalam draft RUU Kamnas yang diajukan pada tanggal 23 Oktober 2012, yang telah memangkas 5 (lima) pasal dari draft sebelumnya, sehingga menjadi 55 pasal. Namun demikian, RUU Kamnas ini telah keliru sejak penyusunannya, akibatnya seluruh pasal yang dimuat dalam RUU ini telah melabrak supremasi sipil.

    Mengapa RUU Kamnas Harus Ditolak walaupun telah memangkas 5 (lima pasal). Karena seluruh pasal bermasalah. RUU ini disusun oleh Kementerian Pertahanan cq Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI, yang mengakibatkan seluruh perspektif keamanan dalam RUU ini menjadikan domain utama dalam penyelenggara keamanan adalah militer, jelaslah ini sangat bertentangan dengan konsep keamanan dan pertahanan negara yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.


    Ruang Lingkup Keamanan Nasional (pasal 5 s/d pasal 15)
    Pertama, Status Keadaan Keamanan Nasional meliputi tertib sipil, darurat sipil, darurat militer dan perang (pasal 10) dan keadaan Bencana (pasal 11). Artinya, penyelenggaraan keamanan dalam RUU ini mulai dari situasi tertib hingga perang. Pasal ini membuka peran militer sebagai unsur keamanan nasional dapat terlibat aktif dalam situasi apapun. Hal ini akan sarat dengan pelanggaran HAM.

    Ancaman Keamanan Nasional (pasal 16 s/d pasal 17)
    Kedua, dalam Pasal 16 dan 17 memberikan legitimasi kepada unsur keamanan nasional dan daerah untuk melakukan tindakan represif kepada individu maupun kelompok yang dianggap “berpotensi” mengganggu stabilitas (tertib sipil). Kedua pasal ini menjadi dasar hukum tindakan-tindakan militer (unsur keamanan nasional dan daerah) yang dalam pasal-pasal selanjutnya dalam RUU ini mempertegas peran militer.

    RUU ini mencakup spektrum dan jenis ancaman yang sangat luas termasuk sekalipun sifatnya masih potensial. Spektrum Ancaman dimulai dari ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jens dan bentuknya (pasal 16 ayat 1). Sasaran Ancaman terdiri atas: a. bangsa dan negara b. keberlangsungan pemhangunan nasional; c. masyarakat; dan d. Insani (pasal 16 ayat 2).

    Ancaman Keamanan nasional segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis Ancaman yang terdiri atas: a . Ancaman Militer; b. Ancaman bersenjata; dan c. Ancaman tidak Bersenjata (pasal 17 ayat 1). Masing-masing jenis Ancaman dapat berkembang ke dalam berbagai bentuk Ancaman (pasal 17 ayat 2). Bentuk Ancaman dapat bersifat potensial atau aktual (pasal 17 ayat 3).

    Penyelenggaraan Keamanan Nasional: (pasal 18 s/d pasal 51)
    Ketiga, RUU Kamnas ini memuat pembentukan Dewan Keamanan Nasional dan Forum Keamanan Daerah yang terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap. Adapun anggota tetap yang selalu ada adalah militer (pasal 20 s/d pasal 29). Artinya, militer selalu terlibat dalam pelaksanaan keamanan terhadap ancaman dari ancaman yang paling lunak, potensial, dan tingkat yang rendah sekalipun. Ancaman potensial (pasal 17) yang sangat subyektif (penguasa), sudah dapat ditindak secara represif (disebutkan dalam pasal 35).

    Keempat, Walaupun Dewan ini diketuai oleh Presiden, namun pelaksana harian didominasi oleh kekuatan Militer yang dipimpin oleh sekretaris Jenderal. Namun Sekretaris jenderal Dewan Keamanan Nasional merupakan validasi dari Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI (ditegaskan dalam pasal 52 ayat 3). Dengan melebur Wantannas ke dalam Dewan Keamanan Nasional, maupun seluruh penyelenggaraan keamanan yang selalu melibatkan institusi militer, akibatnya telah mengaburkan batas antara domain keamanan dan domain pertahanan. Hal ini akan memperlebar grey area dalam menegakkan supremasi sipil. Akibatnya, RUU ini menjadi alat legitimasi peran militer dalam wilayah penegakan hukum.

    Kelima, RUU Kamnas ini bukan hanya mengatur kebijakan strategis sebagaimana pernyataan-pernyataan pers yang dilakukan oleh Menhan maupun Wamenhan. Pernyataan tersebut merupakan “pembohongan publik”, karena RUU ini memuat penyelenggaraan dan pelaksanaan operasional keamanan hingga tingkat kabupaten/kota (pasal 30 s/d pasal 39).

    Keenam, Gubernur/Walikota/Bupati mampu mengaktivasi unsur militer melalui forum keamanan daerah walaupun dalam situasi tertib sipil. Hal ini menyiratkan bahwa unsur militer terdelegasikan kewenangannya di daerah. Padahal militer bukanlah bagian dari kewenangan yang dapat didelegasikan ke pemerintah daerah sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945. Konsep penyelenggaraan keamanan yang melibatkan militer hanya dengan dapat diaktivasi melalui forum daerah, maka jelas sangat bertentangan dengan UUD 1945, karena aktivasi militer harus melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat RI.

    Ketujuh, Penindakan dini yang dimaksudkan untuk mencegah meningkat dan meluasnya intensitas ancaman yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya korban dan kerugian yang lebih besar (pasal 35 ayat 2 point a), mengembalikan kondisi keadaan menjadi tertib sipil dan stabil dengan melaksanakan tindakan represif dan kuratif secara terukur (pasal 35 ayat 2 point c). yang dimaksud dengan terukur yaitu penggunaan kekuatan sesuai dengan kebutuhan operasional (penjelasan pasal 35 ayat 2 point c).

    Pasal 35 ini akan memberangus kebebasan sipil, karena pelibatan unsur militer menjadi teror bagi individu/kelompok yang dianggap mengganggu seseorang (insani), masayarakat atau keberlangsungan pembangunan nasional (sasaran ancaman ini dalam pasal 16 ayat 2).

    Kedelapan, Pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, dalam RUU ini disebutkan merupakan laporan militer (Sekretaris Jenderal dari unsur militer, BIN, TNI), dan pelaksanaan tersebut melibatkan militer sebagai unsur utama maupun sebagai unsur pendukung (pasal 35 ayat 1). Lagi-lagi militer terlibat dalam pencegahan, peringatan dan penindakan dini. Dengan atas nama “Penindakan dini” maka aparat militer sebagai bagian dari unsur pelaksana forum keamanan daerah berwenang melakukan tindakan represif dan kuratif terhadap individu/kelompok yang diperkirakan (dianggap) pengganggu walaupun dalam situasi tertib sipil. Padahal situasi tertib sipil merupakan domain polisionil dan berbagai perangkat hukum yang telah berlaku.

    Kesembilan, Penanggulangan ancaman keamanan di Laut dan Udara (pasal 38 dan 39) menjadi domain AL dan AU, sedangkan keterlibatan instansi terkait akan diatur kemudian dengan peraturan pemerintah (pasal 38 ayat 2) dan UU baru (pasal 39 ayat 2). Lagi-lagi peran militer dalam segala situasi (tertib). Pasal-pasal ini menghilangkan kewenangan Aparat kepolisian di perairan laut dan para penyidik instansi terkait lainnya yang telah diatur oleh UU (seperti DKP).

    Kesepuluh, Tataran kewenangan dan komando di daerah adalah militer (hanya institusi militer yang dipimpin oleh Komandan sebagaimana disebutkan dalam pasal 48). Jelaslah sudah bahwa RUU ini memang merupakan reinkarnasi dari dwifungsi ABRI yang pernah ‘bersejarah’ di masa lalu. Kali ini hadir dalam jubah baru “Kopkamtib ala Dewan Keamanan Nasional dan Forum Keamanan Daerah.”

    Kesebelas, RUU Kamnas ini membahas semua sektor, dan akan melabrak berbagai UU lainnya yang telah ada (UU Polri, UU TNI UU Pertahanan Negara, UU PKS, dan 67 UU lainnya). Dalam pasal 54 berbunyi: “Pada saat berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Keamanan Nasional yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini”.

    Pasal ini merupakan Lex spesialis yang akan menggugurkan semua peraturan yang ada dan bertentangan dengan RUU Ini.

    Keduabelas, RUU Kamnas ini mengaburkan batas keamanan yang merupakan domain aparatur penegak hukum, dengan memasukkan unsur militer dalam wilayah penegakan hukum tersebut. Kecurigaan akan kembalinya peran militer dalam ranah sipil kehidupan bermasyarakat bukanlah mengada-ada atau tanpa alasan. Justru RUU Kamnas ini secara jelas bagaimana peranan militer dilibatkan sekalipun dalam situasi tertib sipil yang dilakukan dengan 2 tools dalam skema RUU ini yaitu dapat melalui forum keamanan daerah melalui kepala daerah dan atau sebagai Komandan yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap keamanan di daerah.
  • Di Balik Tembok

    Di Balik Tembok

    by Annelies Aya Lathief

    Aku perempuan di balik tembok
    Di Ujung sana
    Kulihat perepuan-perempuan yang perkasa
    Tangannya yang lembut 
    tak henti menari mengaitkan ujung ruh
    yang sedikit diabaikan
    direnggur izrail-izrail pabrik


    Tapi aku tak jauh beda dengan mereka
    Di balik Tembok ini
    Ku lentikkan jemari tanganku
    yang sekejap lagi
    kan menjadi kekar seperti para lelaki


    Di balik tembok ini
    kami terbelenggu waktu
    waktu yang semakin menggilas perut kami yang lapar


    Di Balik tembok ini
    kini kudengar suara lantang
    suara-suara perempuan yang menyerukan perlawanan


    Yaah...!!
    Akupun Harus seperti mereka
    Mari Kawan...!! Mari kita bersatu...
    kita tak boleh hanya diam melihat penindasan ini
    Runtuhkan tembok-tembokpabrik yang meruntuhkan kita ini


    Kita harus bersatu Kawan...
    bersatu dengan mereka yang satu jiwa
    mereka yang berani menyerukan kebenaran
    dan tunjukkan !!!
    Tunjukkan dan katakan Kawan !!!
    Katakan...
    Kami perempuan yang berlawan..
  • 14 Tahun Runtuhnya Rezim Orde Baru

    14 Tahun Runtuhnya Rezim Orde Baru

    Masih terngiang di dalam ingatan bagaimana bentuk tirani yang dibangun oleh Soeharto. Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dan mengukir sejarah buruk di Indonesia. Tak ada Kebebasan, tak ada demokrasi. yang ada hanya tirani. penindasan penguasa terhadap rakyatnya.

    21 Mei 1998 menandai berakhirnya Rezim diktator Soeharto. dan kini 14 tahun sudah Rezim ini berakhir. namun tak cukup sebagai pengobat luka rakyat dibuatnya.

    Saatnya Kita belajar dari Sejarah. Kaum gerakan yang peduli terhadap masa depan bangsa. Diskusi Trotoar tentang "REFLEKSI 14 Tahun Kejatuhan Soeharto", Senin 21 MEI 2012, Samping Auditorium Al Jibra Universitas Muslim Indonesia Makassar.

    Pelaksana : Kolektif Komisariat UMI Makassar, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) & Komunitas Marginal (KOMUNAL)
  • Peringatan International Wowan Day ke 101

    Peringatan International Wowan Day ke 101


    Aksi Peringatan International Woman Day ke 101, 8 Maret 2010... Berbagi Bunga dan Roti



  • Tolak Peraturan Menteri dalam Negeri

    Tolak Peraturan Menteri dalam Negeri

    PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 33 TAHUN 2012

    TENTANG

    PEDOMAN PENDAFTARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN
    DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI
    DAN PEMERINTAH DAERAH

    Pasal 2

    (1) Setiap orkemas wajib mendaftarkan keberadaannya kepada Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah.
    (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orkemas yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    BAB III
    TAHAPAN PENDAFTARAN

    Pasal 5

    Pendaftaran orkemas dilakukan oleh pengurus melalui tahapan:
    a. pengajuan permohonan;
    b. penelitian dokumen persyaratan;
    c. penelitian lapangan; dan
    d. penerbitan SKT (SURAT KETERANGAN TERDAFTAR)

    Bagian Ketiga
    Pembekuan SKT ( SURAT KETERANAGAN TERDAFTAR)

    Pasal 25
    Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat melakukan Pembekuan SKT dalam hal:
    a. tidak diindahkannya surat teguran;
    b. penyalahgunaan SKT yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    c. permintaan tertulis dari instansi terkait;
    d. pengaduan karena adanya aktivitas orkemas yang meresahkan masyarakat;
    e. penyimpangan terhadap fungsi dan tujuan orkemas;
    f. terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pencucian uang, separatisme dan terorisme;
    g. kegiatan orkemas yang menimbulkan ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap keselamatan negara;
    h. terlibat dalam organisasi terlarang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    i. mengganggu ketentraman dan ketertiban umum serta melanggar norma kesusilaan yang dianut masyarakat;
    j. melakukan tindakan premanisme, anarkisme, dan tindakan kekerasan lainnya yang bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan;
    k. merusak fasilitas sosial dan fasilitas umum;
    l. menyebarluaskan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan;
    m. menyebarkan ajaran, paham dan keyakinan yang meresahkan masyarakat, serta penodaan terhadap suku, agama, ras dan golongan tertentu;
    n. menyebarkan ideologi marxisme, atheisme, kapitalisme, sosialisme dan ideologi lainnya yang bertentangan Pancasila dan UUD 1945;
    o. terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan orkemas untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    p. terjadi sengketa atau konflik kepengurusan;
    q. penyalahgunaan lambang, atribut, simbol, dan bendera negara, lembaga negara, dan/atau organisasi pemerintahan;
    r. memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa;
    s. menerima bantuan asing tanpa persetujuan Pemerintah, dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan/atau
    t. merusak hubungan antara negara Indonesia dengan negara lain.

    Pasal 26

    (1) Surat teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, diberikan kepada orkemas karena terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan SKT dan/atau adanya aktivitas orkemas yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
    (2) Pembekuan SKT orkemas dilakukan dalam hal tidak diindahkannya surat teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, dilakukan setelah melalui tahapan :
    a. teguran tertulis pertama;
    b. teguran tertulis kedua; dan
    c. teguran tertulis ketiga.
    (3) Jangka waktu setiap tahapan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) hari.

    Pasal 27

    (1) Pembekuan SKT oleh Menteri, berakibat dibekukannya seluruh SKT yang dimiliki oleh Orkemas.
    (2) Pembekuan SKT oleh Gubernur, berakibat dibekukannya SKT orkemas di provinsi yang bersangkutan dan dibekukannya seluruh SKT kabupaten/kota yang dimiliki oleh Orkemas dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
    (3) Pembekuan terhadap SKT oleh Bupati/Walikota berakibat dibekukannya SKT Orkemas di kabupaten/kota yang bersangkutan.
  • Darah Juang

    Darah Juang

    Di sini Negeri Kami
    tempat padi terhampar
    samuderanya kaya raya
    Tanah Kami subur Tuan

    Di Negeri Permai ini
    Berjuta Rakyat bersimbah Luka
    Anak Buruh tak sekolah
    Pemuda desa tak kerja

    Reff ;

    Mereka dirampas haknya
    Tergusur dan lapar
    Bunda relakan darah juang kami
    tuk membebaskan rakyat

    Back to Reff
  • RUU Kesetaraan dan Keadillan Gender Bag I

    RUU Kesetaraan dan Keadillan Gender Bag I


    RANCANGAN
    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR … TAHUN …
    TENTANG
    KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :
    a.   bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan untuk mendapatkan pelindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    b.      bahwa masih terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin tertentu sehingga kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender;
    c.   bahwa kesetaraan gender yang ditujukan untuk mencapai keadilan gender belum diatur secara komprehensif sehingga belum menjamin kepastian hukum;
    d.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender;

    Mengingat  :        Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
    dan
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
    MEMUTUSKAN:
    Menetapkan :   UNDANG-UNDANG TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER.
    BAB I
    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1.      Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.
    2.      Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan  laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.
    3.      Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan  yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.
    4.      Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
    5.      Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disingkat PUG adalah suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
    6.      Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
    7.      Focal Point Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disebut Focal Point PUG adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong pengarusutamaan gender di instansi dan/atau lembaga.
    8.      Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disebut Pokja PUG adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga.
    9.      Anggaran Responsif Gender yang selanjutnya disingkat ARG adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan.
    10.  Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    11. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
    12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

    BAB II
    ASAS DAN TUJUAN

    Pasal 2
    Kesetaraan dan keadilan gender dilaksanakan berdasarkan asas:
    a. kemanusiaan;
    b. persamaan substantif;
    c. non-diskriminasi;
    d. manfaat;
    e. partisipatif; dan
    f.  transparansi dan akuntabilitas.

    Pasal 3
    Kesetaraan dan keadilan gender bertujuan:
    1.      mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan; dan
    2.      mewujudkan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang setara dan adil.

    BAB III
    HAK DAN KEWAJIBAN

    Bagian Pertama
    Hak

    Pasal 4
    (1)  Dalam bidang politik dan pemerintahan, setiap orang berhak:
    1.      memilih dan dipilih;
    2.      berpartisipasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan;
    3.      memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; dan
    4.      berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
    (2)  Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.

    Pasal 5
    Dalam bidang kewarganegaraan, setiap orang berhak:
    1.      memperoleh, mengubah, atau mempertahankan kewarganegaraan; dan
    2.      memperoleh persamaan dalam menentukan kewarganegaraan anak dari hasil perkawinan.

    Pasal 6
    Dalam bidang pendidikan, setiap orang berhak:
    1.      memperoleh pendidikan di semua bidang dan jenjang pendidikan; dan
    2.      mendapatkan beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya.

    Pasal 7
    Dalam bidang komunikasi dan informasi, setiap orang berhak:
    1.      berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; dan
    2.      mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

    Pasal 8
    Dalam bidang ketenagakerjaan, setiap orang berhak:
    1.      bekerja di semua bidang pekerjaan;
    2.      memperoleh kesempatan dalam mengikuti pendidikan dan latihan kerja serta promosi jabatan yang setara;
    3.      menerima fasilitas, upah, dan tunjangan yang setara; dan
    4.      mendapatkan jaminan sosial, perlindungan kesehatan, dan keselamatan kerja.

    Pasal 9
    Dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana, setiap orang berhak:
    1.      memperoleh pelayanan dan jaminan kesehatan, serta pelayanan keluarga berencana; dan
    2.      memperoleh jaminan untuk mendapatkan pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.

    Pasal 10
    Dalam bidang ekonomi, setiap orang berhak:
    1.      memperoleh jaminan sosial;
    2.      memperoleh akses dan kemudahan atas pinjaman dari lembaga keuangan; dan
    3.      memiliki hak milik pribadi yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

    Pasal 11
    Dalam bidang hukum, setiap orang berhak:
    1.      mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang setara dan adil; dan
    2.      mendapatkan kedudukan, kesamaan, dan perlakuan yang setara dan adil di hadapan hukum.

    Pasal 12
    Dalam perkawinan, setiap orang berhak:
    1.      memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas;
    2.      memiliki relasi yang setara antara suami dan isteri;
    3.      atas peran yang sama sebagai orangtua dalam urusan yang berhubungan dengan anak;
    4.      menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah anak dan jarak kelahiran;
    5.      atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak; dan
    6.      atas pemilikan, perolehan, pengelolaan, pemanfaatan, pemindahtanganan beserta pengadministrasian harta benda.


    Pasal 13
    Untuk bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan, setiap orang berhak:
    a.  atas rasa aman dan mendapatkan pelindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
    b.  mendapatkan pelindungan dari kekerasan;
    c.  mendapatkan pelindungan dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia; dan
    d.  mendapatkan pelindungan dari perlakuan diskriminatif.

    Bagian Kedua
    Kewajiban

    Pasal 14
    Negara berkewajiban untuk:
    1.      melindungi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi;
    2.      mewujudkan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang setara dan adil.
    3.      menjamin terlaksananya upaya penghapusan diskriminasi dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya;
    4.      membentuk peraturan perundang-undangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk menjamin kesetaraan dan keadilan gender.
    5.      menyusun tindakan khusus sementara untuk mewujudkan kesamaan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat  pembangunan antara perempuan dan laki-laki di semua bidang kehidupan;
    6.      menyusun dan melaksanakan kebijakan yang tepat untuk mengubah perilaku sosial dan budaya yang tidak mendukung kesetaraan dan keadilan gender; dan
    7.      Memberikan jaminan terhadap status kewarganegaraan perempuan agar tidak berubah secara otomatis sebagai akibat dari perkawinan dengan orang asing.

    Pasal 15
    Setiap warga negara berkewajiban untuk:
    1.      mencegah terjadinya kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia;
    2.      memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia;
    3.      melakukan upaya pelindungan korban kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia;
    4.      menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga;
    5.      membangun relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; dan
    6.      memenuhi tanggung jawab yang sama sebagai orangtua dalam urusan yang berhubungan dengan anak.

    BAB IV
    PENGARUSUTAMAAN GENDER

    Bagian Pertama
    Penyelenggara

    Pasal 16
    PUG diselenggarakan oleh semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah.

    Pasal 17
    Penyelenggara PUG terdiri dari:
    1.      Menteri
    2.      Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian;
    3.      Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara;
    4.      Panglima Tentara Nasional Indonesia;
    5.      Kepala Kepolisian Repulik Indonesia;
    6.      Jaksa Agung Republik Indonesia;
    7.      Gubernur;
    8.      Bupati/Walikota.

    Pasal 18
    Penyelenggara PUG mempunyai tugas:
    1.      menyusun mekanisme internal PUG;
    2.      membentuk unit kerja dan menunjuk penanggung jawab PUG di lingkungan kerjanya;
    3.      menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan PUG;
    4.      melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk menjamin terlaksananya PUG;
    5.      memberikan bantuan teknis kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas, fungsi, dan kewenangannya.

    Pasal 19
    Pimpinan kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah yang tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab  dikenai sanksi administratif tindakan disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Bagian Kedua
    Penyelenggaraan

    Paragraf 1
    Umum

    Pasal 20
    Penyelenggaraan PUG meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan.

    Paragraf 2
    Perencanaan

    Pasal 21
    (1)  Perencanaan PUG dilakukan melalui analisis gender berdasarkan data terpilah.
    (2)  Perencanaan PUG dilakukan dengan mengintregasikan anggaran responsif gender.

    Pasal 22
    (1)  Analisis gender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dapat menggunakan metode Gender Analysis Pathway (Alur Kerja Analisis Gender), Problem Based Approach dan/atau metode lainnya.
    (2)  Biaya untuk melakukan analisis gender dibebankan pada masing-masing kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 23
    PUG dalam perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui proses penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis Kementerian atau Lembaga, Rencana Kerja Kementerian atau Lembaga, dan Rencana Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga yang berperspektif gender.

    Pasal 24
    (1)    Perencanaan PUG di tingkat pusat dikoordinasikan oleh Kementerian Negara yang yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan nasional.
    (2)    Institusi perencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
    1.      koordinator usulan perencanaan dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit yang mengajukan perencanaan untuk dianggarkan dalam Anggaran  Pendapatan Belanja Negara; dan
    2.      fasilitator dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit yang mengajukan perencanaan program dan kegiatan.

    Pasal 25
    Menteri berperan aktif dalam mengikuti proses perencanaan PUG di tingkat pusat.

    Pasal 26
    PUG dalam perencanaan pembangunan  daerah dilakukan melalui proses penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Rencana Kerja Anggaran  Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berperspektif gender.

    Pasal 27
    (1)  Perencanaan PUG di tingkat daerah dikoordinasikan oleh badan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan daerah.
    (2)  Institusi perencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
    1.      koordinator usulan perencanaan dari setiap lembaga, instansi, atau unit di daerah yang mengajukan perencanaan untuk dianggarkan dalam Anggaran  Pendapatan Belanja Daerah;
    2.      fasilitator dari setiap lembaga, instansi, atau unit di daerah yang mengajukan perencanaan program dan kegiatan.

    Pasal 28
    Instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan berperan aktif dalam mengikuti proses perencanaan PUG di tingkat daerah.
    Paragraf  3
    Pelaksanaan

    Pasal 29
    (1)  Seluruh kementerian dan lembaga negara bertanggungjawab melaksanakan PUG di instansinya masing-masing.
    (2)  Untuk menjamin agar seluruh kementerian dan lembaga negara melaksanakan PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Pokja PUG.
    (3)  Pokja PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beranggotakan wakil dari seluruh kementerian dan lembaga negara.
    (4)  Struktur Pokja PUG di tingkat pusat terdiri atas:
    1.      Penanggung jawab adalah Wakil Presiden;
    2.      Ketua adalah menteri negara yang yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan nasional; dan
    3.      Sekretaris adalah Menteri.

    Pasal 30
    Pokja PUG Pusat mempunyai tugas:
    1.      mempromosikan dan memfasilitasi PUG di masing-masing kementerian/lembaga;
    2.      melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada pegawai di lingkungan kementerian/lembaga;
    3.      menyusun program dan rencana kerja setiap tahun;
    4.      mendorong terwujudnya anggaran responsif gender;
    5.      merumuskan rekomendasi kebijakan kepada pimpinan kementerian/lembaga;
    6.      melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing instansi;
    7.      menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran kementerian/lembaga;
    8.      mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point PUG di masing-masing kementerian/lembaga; dan
    9.      melaporkan pelaksanaan tugas secara berkala kepada pimpinan kementerian/lembaga.

    Pasal 31
    (1)    Untuk menjamin penyelenggaraan PUG di tingkat pusat, dibentuk Focal Point PUG di setiap kementerian/lembaga.
    (2)    Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
    a.  mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja;
    b.  memfasilitasi penyusunan Rencana Strategis Kementerian atau Lembaga, Rencana Kerja Kementerian atau Lembaga, dan Rencana Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga yang berperspektif gender;
    c.  melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender kepada  pegawai di lingkungan kementerian/lembaga;
    d.  melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan kementerian/lembaga;
    e.  mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan kegiatan pada unit kerja; dan
    1.      memfasilitasi penyusunan data terpilah pada setiap kementerian/lembaga.

    Pasal 32
    Focal Point PUG dipilih dan ditetapkan oleh Kepala/Pimpinan kementerian/lembaga.

    Pasal 33
    Pelaksanaan tugas Focal Point PUG dikoordinasikan oleh pejabat yang ada di setiap kementerian/lembaga.

    Pasal 34
    (1)  Gubernur bertanggungjawab melaksanakan PUG dengan dibantu oleh wakil Gubernur.
    (2)  Untuk menjamin agar seluruh satuan kerja perangkat daerah melaksanakan PUG, Gubernur menetapkan Badan/Dinas yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemberdayaan perempuan
    (3)  Dalam upaya percepatan pelembagaan PUG di seluruh SKPD provinsi, dibentuk Pokja PUG Provinsi.
    (4)  Pokja PUG Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beranggotakan wakil dari seluruh satuan kerja perangkat daerah di Provinsi.
    (5)  Struktur Pokja PUG provinsi terdiri atas:
    1.      Penanggung jawab adalah Wakil Gubernur;
    2.      Ketua adalah kepala badan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan
    3.      Kepala Sekretariat Pokja PUG Provinsi adalah Kepala Badan/Dinas yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.

    Pasal 35
    Pokja PUG Provinsi bertugas:
    1.      mempromosikan dan memfasilitasi PUG di masing-masing satuan kerja perangkat daerah;
    2.      melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi;
    3.      menyusun program dan rencana kerja setiap tahun;
    4.      mendorong terwujudnya anggaran responsif gender;
    5.      menyusun rencana kerja Pokja PUG setiap tahun;
    6.      merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Gubernur;
    7.      memfasilitasi satuan kerja perangkat daerah atau unit kerja yang membidangi pendataan untuk menyusun data terpilah;
    8.      melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing instansi;
    9.      menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;
    10.  menyusun Rencana Aksi Daerah PUG Provinsi;
    11.  mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing-masing satuan kerja perangkat daerah; dan
    12.  melaporkan pelaksanaan PUG secara berkala kepada Gubernur melalui Wakil Gubernur.

    Pasal 36
    (1)    Untuk menjamin penyelenggaraan PUG di tingkat provinsi, dibentuk Focal Point PUG di setiap satuan kerja perangkat daerah.
    (2)    Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas :
    a.  mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja;
    b.  memfasilitasi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Rencana Kerja Anggaran  Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berperspektif gender;
    c.  melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender kepada pegawai di lingkungan satuan kerja perangkat daerah;
    d.  melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah;
    e.  mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan kegiatan pada unit kerja; dan
    1.      memfasilitasi penyusunan data terpilah pada setiap satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 37
    Focal Point PUG dipilih dan ditetapkan oleh Kepala/Pimpinan satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 38
    Pelaksanaan tugas Focal Point PUG dikoordinasikan oleh pejabat yang ada di setiap satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 39
    (1)  Bupati/Walikota bertanggung jawab melaksanakan PUG dengan dibantu Wakil Bupati/Walikota.
    (2)  Untuk menjamin agar seluruh satuan kerja perangkat daerah melaksanakan PUG, Bupati/Walikota menetapkan Badan/Dinas yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemberdayaan perempuan.
    (3)   Dalam upaya percepatan pelembagaan PUG di seluruh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, dibentuk Pokja PUG Kabupaten/Kota.
    (4)   Pokja PUG Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beranggotakan wakil dari seluruh satuan kerja perangkat daerah di Kabupaten/Kota.
    (5)  Struktur Pokja PUG Kabupaten/Kota terdiri atas:
    1.      Ketua Pokja PUG Kabupaten/Kota adalah kepala badan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan daerah;
    2.      Kepala Sekretariat Pokja PUG Kabupaten/Kota adalah Kepala Badan/Dinas yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.

    Pasal 40
    Pokja PUG Kabupaten/Kota bertugas:
    a.  mempromosikan dan memfasilitasi PUG di masing-masing satuan kerja perangkat daerah;
    b.  melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada Camat dan Kepala Desa/Lurah;
    c.  menyusun program kerja setiap tahun;
    d.  mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender;
    e.  menyusun rencana kerja Pokja PUG setiap tahun;
    1.      merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Bupati/Walikota;
    g.  memfasilitasi satuan kerja perangkat daerah atau unit kerja yang membidangi pendataan untuk menyusun data terpilah;
    h.  melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing instansi;
    1.      menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;
    2.      menyusun Rencana Aksi Daerah PUG di Kabupaten/Kota;
    k.  mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing-masing satuan kerja perangkat daerah; dan
    1.      melaporkan pelaksanaan PUG secara berkala kepada Bupati/Walikota melalui Wakil Bupati/Walikota.

    Pasal 41
    (1)    Untuk menjamin penyelenggaraan PUG di tingkat kabupaten/kota, di setiap satuan kerja perangkat daerah dibentuk Focal Point PUG.
    (2)    Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
    a.  mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja;
    b.  memfasilitasi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Rencana Kerja Anggaran  Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berperspektif gender;
    c.  melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender kepada pegawai di lingkungan satuan kerja perangkat daerah;
    d.  melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah;
    e.  mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan kegiatan pada unit kerja; dan
    1.      memfasilitasi penyusunan data terpilah pada setiap satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 42
    Focal Point PUG dipilih dan ditetapkan oleh Kepala/Pimpinan satuan kerja perangkat daerah.

    Pasal 43
    Pelaksanaan tugas Focal Point PUG dikoordinasikan oleh pejabat yang ada di setiap satuan kerja perangkat daerah.

    Paragraf 4
    Pembiayaan

    Pasal 44
    Pembiayaan penyelenggaraan PUG menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

    Pasal  45
    (1)    Pembiayaan penyelenggaraan PUG di tingkat pusat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
    (2)    Penyelenggaraan PUG di tingkat pusat dianggarkan melalui kementerian/lembaga.

    Pasal 46
    (1)  Pembiayaan penyelenggaraan PUG di tingkat daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
    (2)  Penyelenggaraan PUG di tingkat daerah dianggarkan melalui satuan kerja perangkat daerah di provinsi dan kabupaten/kota.

    Pasal 47
    Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46, pembiayaan penyelenggaraan PUG dapat berasal dari pihak lain sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Paragraf 5
    Pemantauan dan Evaluasi

    Pasal 48
    Kegiatan pemantauan dilakukan selama proses perencanaan,  pelaksanaan, dan penganggaran PUG.

    Pasal 49
    (1)  Kegiatan evaluasi dilakukan secara berkala dengan menggunakan indikator keberhasilan penyelenggaraan PUG.
    (2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai indikator keberhasilan penyelenggaraan PUG diatur dengan Peraturan Menteri.

    Pasal 50
    (1)  Pimpinan lembaga negara, pemerintah, dan pemerintah daerah, serta masyarakat wajib melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya.
    (2)  Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengetahui kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan kesetaraan gender yang dilakukan oleh lembaga negara, pemerintah, dan pemerintah daerah, serta masyarakat.
    (3)  Masing-masing pimpinan bertanggung jawab atas hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan dan hasilnya dapat diumumkan kepada masyarakat.
    (4)  Hasil pemantauan dan evaluasi dapat disampaikan kepada Menteri untuk dilakukan analisis.

    Pasal  51
    Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan PUG dilakukan sebelum penyusunan program atau kegiatan tahun berikutnya.

    Pasal 52
    Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat bertanggungjawab melakukan pemantauan dan evaluasi internal terhadap penyelenggaraan PUG.


    Pasal 53
    (1)  Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat daerah bertanggungjawab melakukan pemantauan dan evaluasi internal terhadap penyelenggaraan PUG.
    (2)  Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap satuan kerja perangkat daerah secara berjenjang.

    Pasal 54
    (1)    Selain evaluasi internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53  ayat (1) dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG secara menyeluruh.
    (2)    Evaluasi terhadap pelaksanaan PUG secara menyeluruh di tingkat pusat dilakukan oleh badan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan nasional  berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis Kementerian atau Lembaga, Rencana Kerja Kementerian atau Lembaga, dan Rencana Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga yang berperspektif gender.
    (3)    Evaluasi terhadap pelaksanaan PUG secara menyeluruh di tingkat daerah dilakukan oleh badan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perencanaan pembangunan daerah berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Rencana Kerja Anggaran  Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berperspektif gender.

    Pasal 55
    Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, pusat kajian/studi wanita dan/atau gender, organisasi masyarakat sipil, dan/atau lembaga swadaya masyarakat.



    Paragraf 6
    Pelaporan

    Pasal 56
    (1)      Untuk mengetahui pencapaian serta menjamin efektifitas dan keberhasilan penyelenggaraan PUG, dilakukan pelaporan penyelenggaraan PUG secara berkala.
    (2)      Pelaporan penyelenggaraan PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
    1.      pelaksana;
    2.      hasil yang telah dicapai;
    c.hambatan yang dihadapi;
    1.      upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan; dan
    2.      penggunaan anggaran.

  • Diberdayakan oleh Blogger.

    About Me

    Foto saya
    Bangkit Melawan atau Tunduk DIam dan Tertindas

    Follows

    My Blog Feeds »

    Translate

    Blogroll

    Blogger templates

    <a href=http://zawa.wordpress.com>Zawa Clocks</a>

    Pages

    Blogger news

    Traffic Info

    Fans Facebook

    Blogroll

    Pages - Menu

    WHAT WE DO

    We've been developing corporate tailored services for clients for 30 years.

    CONTACT US

    For enquiries you can contact us in several different ways. Contact details are below.

    KOMUNITAS MARGINAL

    • Street :Road Street 00
    • Person :Person
    • Phone :+045 123 755 755
    • Country :POLAND
    • Email :contact@heaven.com

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.