Pasal 57
Mekanisme pelaporan
pelaksanaan PUG di tingkat pusat, yaitu:
1.
focal
point PUG melaporkan kepada Pokja PUG;
2.
pokja
PUG melaporkan kepada pimpinan kementerian/lembaga masing-masing;
3.
pimpinan
kementerian/lembaga masing-masing melaporkan kepada Menteri;
4.
Menteri
melaporkan kepada Presiden.
Pasal 58
Mekanisme pelaporan
pelaksanaan PUG di tingkat daerah, yaitu:
1.
focal
point PUG melaporkan kepada Pokja PUG;
2.
Pokja
PUG melaporkan kepada pimpinan satuan kerja
perangkat daerah provinsi atau kabupaten/kota;
3.
pimpinan
satuan kerja perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota melaporkan kepada
gubernur atau bupati/walikota;
4.
gubernur
atau bupati/walikota melaporkan kepada Menteri;
5.
Menteri
melaporkan kepada Presiden.
Pasal 59
Presiden menerima
pelaporan penyelenggaraan PUG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58
secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaporan penyelenggaraan PUG diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
DATA TERPILAH
Pasal 61
Penyusunan data
terpilah merupakan bagian tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan PUG.
Pasal 62
(1)
Data terpilah merupakan data yang dirinci menurut jenis kelamin.
(2)
Data terpilah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengetahui
posisi, kondisi, dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam berbagai sektor
dan bidang pembangunan.
BAB VI
ANGGARAN RESPONSIF GENDER
Pasal 63
(1) ARG
merupakan strategi PUG untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakan anggaran pembangunan nasional.
(2) ARG
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dalam penyusunan program,
kegiatan dan anggaran kementerian/lembaga.
Pasal 64
ARG bertujuan untuk:
1.
mendorong
keberpihakan anggaran terhadap perempuan dan anak;
2.
membangun
kesadaran multipihak mengenai pentingnya mengintegrasikan analisis gender dalam
penganggaran dan penilaian dampak anggaran;
3.
mendorong
partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam penyusunan, penetapan,
pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan anggaran;
4.
membuat
pemerintah transparan dan bertanggungjawab terhadap komitmen untuk mewujudkan
PUG dalam pembangunan; dan
5.
mengubah
kebijakan anggaran yang netral menjadi responsif gender dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender.
Pasal 65
(1) ARG bersifat
melekat pada struktur anggaran yang terdapat dalam Rencana Kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga.
(2) Penerapan
ARG dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didahului dengan analisis gender.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 66
(1) Setiap orang
dapat berperan serta dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Peran serta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan cara:
1.
memberikan
informasi dan pengetahuan yang mendukung pengenalan dan pemahaman kesetaraan
dan keadilan gender dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan,
lingkungan kerja, dan kelompok sebaya;
2.
menyelenggarakan
dan/atau mempublikasikan kegiatan yang dapat menunjang terwujudnya kesetaraan
dan keadilan gender;
3.
melakukan
kegiatan pengkajian, penelitian, pendidikan, pelatihan, pengembangan,
pendampingan, dan/atau pendanaan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan
gender;
4.
menyampaikan
saran, pendapat, dan/atau informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai
kesetaraan dan keadilan gender;
5.
terlibat
dalam proses penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan
gender sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.
memantau
program dan/atau kegiatan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga dan/atau
satuan kerja perangkat daerah;
7.
memberikan
dukungan finansial dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender; dan
8.
menumbuhkan
dan mengembangkan sikap tanggap dan kemampuan untuk menghapus diskriminasi.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 67
Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau
pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.
Pasal 68
Setiap orang dilarang
melakukan segala bentuk kekerasan fisik dan/atau non-fisik
atas dasar jenis kelamin tertentu.
Pasal 69
Setiap orang dilarang
membuat tulisan dan/atau pernyataan yang merendahkan dan/atau melecehkan seseorang
dan/atau kelompok berdasarkan jenis kelamin tertentu untuk dipublikasikan.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 70
Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan,
dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp… (…).
Pasal 71
Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan segala bentuk kekerasan fisik dan/atau
non-fisik atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
dipidana dengan pidana penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp… (…).
Pasal 72
Setiap orang yang
dengan sengaja membuat tulisan dan/atau pernyataan yang merendahkan dan/atau
melecehkan seseorang dan/atau kelompok berdasarkan jenis kelamin tertentu untuk
dipublikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana
penjara paling lama … (…) tahun dan pidana denda paling banyak Rp… (…).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis
Kementerian atau Lembaga, Rencana Kerja Kementerian atau Lembaga, dan Rencana
Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga yang telah disusun tetap berjalan
sampai jangka waktu perencanaan berakhir.
Pasal 74
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Strategis
Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan
Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang telah disusun
tetap berjalan sampai jangka waktu perencanaan berakhir.
Pasal 75
Program dan kegiatan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan PUG yang sedang berjalan tetap
dilaksanakan sampai program dan kegiatan berakhir.
Pasal 76
Penyelenggara PUG,
Pokja PUG, atau focal point PUG tetap melaksanakan tugasnya sampai
terbentuknya Penyelenggara PUG, Pokja PUG, atau focal point PUG
yang baru sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 78
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan kesetaraan dan keadilan gender dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 79
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR .....
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
1.
I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa tujuan
bernegara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu, setiap warga
negara, baik perempuan dan laki-laki tanpa kecuali mempunyai tanggung jawab
yang sama untuk melaksanakan tujuan tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab
tersebut adalah dengan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk itu, Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menjamin
persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Implementasi dari ketentuan
tersebut terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM),
yang secara khusus mengatur mengenai hak perempuan.
Indonesia juga telah
meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Bersama 188 negara lainnya, Indonesia juga telah menyepakati Deklarasi dan
Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA)
yang merupakan hasil Konperensi Perempuan se-Dunia ke IV di Beijing tahun
1995. Komitmen untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender juga tercantum
dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/ Millenium Development Goals
(MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang
diselenggarakan pada bulan September 2000.
Walaupun secara
normatif UUD 1945 telah menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara, baik
perempuan maupun laki-laki dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perempuan,
namun sampai saat ini perempuan masih mengalami diskriminasi hampir di segala
bidang kehidupan. Akibat perlakuan yang diskriminatif, perempuan belum
memperoleh manfaat yang optimal dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan
sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus
pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses,
berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki, terutama
dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam
pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan.
Oleh karena itu
kualitas hidup perempuan perlu ditingkatkan, salah satunya melalui
pengarusutamaan gender dalam setiap tahap pembangunan, termasuk dalam proses
perencanaan dan perumusan kebijakan. Hal ini sangat diperlukan agar kepentingan
perempuan dan laki-laki dapat tertampung secara seimbang sehingga pada akhirnya
perempuan dan laki-laki dapat menikmati hasil pembangunan secara berimbang.
Di Indonesia,
pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender dalam setiap aspek kehidupan ditetapkan melalui Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Sebagai tindak lanjut, dikeluarkan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008.
Mengingat hingga saat
ini upaya pengarusutamaan gender dalam pembangunan masih menunjukkan kemajuan
yang sangat lambat, dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagai dasar hukum
implementasi pengarusutamaan gender tidak terdapat dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan, maka diperlukan sebuah undang-undang yang secara khusus
mengatur mengenai pengarusutamaan gender.
Dalam undang-undang
ini, pengarusutamaan gender sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara perlu diimplementasikan dalam setiap tahap pembangunan yang meliputi
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena
itu, implementasi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunaan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi
dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Termasuk di dalamnya adalah
ketentuan yang mengatur mengenai anggaran yang responsif gender.
Dalam penyelenggaraan
pengarusutamaan gender, pembiayaan merupakan salah satu unsur yang penting.
Pembiayaan penyelenggaraan pengarusutamaan gender menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara nasional, pembiayaan
penyelenggaraan PUG diakomodasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Adapun di tingkat daerah pembiayaan pengarusutamaan gender
diakomodasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Unsur lain yang
penting dalam penyelenggaraaan pengarusutamaan gender adalah data terpilah.
Dalam penyelenggaraan pengarusutamaan gender, data terpilah merupakan prasyarat
bagi pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan. Selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan
Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) dan Focal
Point Pengarusutamaan Gender untuk menjamin agar pengarusutamaan gender
dapat dilaksanakan secara maksimal.
1.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup jelas.
Pasal
2
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“asas kemanusiaan” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender mencerminkan
perlindungan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“asas persamaan substantif” adalah bahwa setiap kebijakan, sikap dan
langkah-tindak dalam segala bidang kehidupan harus bertujuan memenuhi hak asasi
manusia, merealisasi pemenuhan kebutuhan hidup dan aspirasi yang berbeda
antara perempuan dan laki-laki, yang disebabkan karena kodrat yang berbeda.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“asas non-diskriminasi” adalah bahwa setiap kebijakan, sikap dan langkah-tindak
dalam segala bidang kehidupan harus mencerminkan pengakuan, penghormatan dan
pemajuan hak asasi manusia serta kesetaraan gender yang adil.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“asas manfaat” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender memberikan manfaat
yang sama bagi laki-laki dan perempuan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“asas partisipatif” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan gender memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“asas transparansi dan akuntabilitas” adalah penyelenggaraan pengarusutamaan
gender dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Pasal
3
Cukup jelas.
Pasal
4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan
“tindakan khusus sementara” (affirmative action) adalah hukum dan
kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian
kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai
representasi yang lebih proporsional dalam berbagai institusi dan okupasi.
Tindakan khusus sementara
dimaksudkan agar setiap orang mendapatkan kemudahan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan hak dan keadilan. Tindakan ini dapat diberhentikan apabila
tujuan yang dimaksud telah dicapai. Salah satu bentuk tindakan khusus sementara
yaitu pemberian kuota dalam jumlah tertentu bagi perempuan.
Pasal
5
Cukup jelas.
Pasal
6
Cukup jelas.
Pasal
7
Cukup jelas.
Pasal
8
Cukup jelas.
Pasal
9
Cukup jelas.
Pasal
10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lembaga keuangan
seperti bank, koperasi, dan lembaga perkreditan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal
11
Cukup jelas.
Pasal
12
Cukup jelas.
Pasal
13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bentuk kekerasan
meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal
14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Ketentuan ini
dimaksudkan agar tidak ada warga negara Indonesia yang tidak berkewarganegaraan
(stateless).
Pasal
15
Cukup jelas.
Pasal
16
Cukup jelas.
Pasal
17
Cukup jelas.
Pasal
18
Cukup jelas.
Pasal
19
Cukup jelas.
Pasal
20
Cukup jelas.
Pasal
21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“mengintegrasikan” adalah tidak memisahkan anggaran responsif gender diluar
seluruh anggaran kementerian atau lembaga.
Pasal
22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
metode Gender Analysis Pathway (Alur Kerja Analisis Gender) adalah salah
satu pendekatan analisis gender yang terdiri dari 3 langkah utama, yaitu:
analisis kebijakan responsif gender, perumusan kebijakan responsif gender, dan
rencana aksi yang responsif gender.
Yang dimaksud dengan Problem
Based Approach adalah salah satu pendekatan analisis gender terhadap
kebijakan pembangunan dan proses penganggaran yang meliputi tahap: analisis
masalah gender, pemeriksaan kebijakan, formulasi kebijakan, penyusunan rencana
aksi dan kegiatan intervensi serta monitoring dan evaluasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal
23
Cukup jelas.
Pasal
24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Fungsi fasilitator
antara lain memberikan bimbingan teknis sehingga perencanaan program dan
kegiatan yang diajukan dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit tersusun
secara sistematis.
Pasal
25
Cukup jelas.
Pasal
26
Cukup jelas.
Pasal
27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Fungsi fasilitator
antara lain memberikan bimbingan teknis sehingga perencanaan program dan
kegiatan yang diajukan dari setiap lembaga negara, instansi, atau unit tersusun
secara sistematis.
Pasal
28
Yang dimaksud dengan
“berperan aktif” adalah ikut terlibat secara langsung agar proses perencanaan
PUG ditingkat daerah dapat berjalan secara efektif.
Pasal
29
Cukup jelas.
Pasal
30
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal
31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal
32
Cukup jelas.
Pasal
33
Cukup jelas.
Pasal
34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal
36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal
37
Cukup jelas.
Pasal
38
Cukup jelas.
Pasal
39
Cukup jelas.
Pasal
40
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal
41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan media
promosi dapat melalui pamflet, website, buku saku, dan sebagainya agar materi
PUG dapat dipahami secara komprehensif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal
42
Cukup jelas.
Pasal
43
Cukup jelas.
Pasal
44
Cukup jelas.
Pasal
45
Cukup jelas.
Pasal
46
Cukup jelas.
Pasal
47
Pembiayaan dari pihak
lain merupakan pembiayaan yang berasal dari pihak di luar Pemerintah, antara
lain yang diberikan melalui hibah atau sumbangan yang tidak memiliki
konsekuensi timbal balik bagi yang memberikan hibah atau sumbangan tersebut.
Pasal
48
Cukup jelas.
Pasal
49
Cukup jelas.
Pasal
50
Cukup jelas.
Pasal
51
Cukup jelas.
Pasal
52
Cukup jelas.
Pasal
53
Cukup jelas.
Pasal
54
Cukup jelas.
Pasal
55
Cukup jelas.
Pasal
56
Cukup jelas.
Pasal
57
Cukup jelas.
Pasal
58
Cukup jelas.
Pasal
60
Cukup jelas.
Pasal
61
Cukup jelas.
Pasal
62
Ayat (1)
Data terpilah dapat
berupa data kuantitatif atau data kualitatif. Contoh data terpilah antara
lain data yang menggambarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal
63
Cukup jelas.
Pasal
64
Cukup jelas.
Pasal
65
Cukup jelas.
Pasal
66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi dan
pengetahuan yang mendukung pengenalan dan pemahaman kesetaraan dan keadilan
gender diberikan sejak usia dini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pemberian dukungan
finansial antara lain melalui corporate social responsibilty.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal
67
Cukup jelas.
Pasal
68
Cukup jelas.
Pasal
69
Cukup jelas.
Pasal
70
Cukup jelas.
Pasal
71
Cukup jelas.
Pasal
72
Cukup jelas.
Pasal
73
Cukup jelas.
Pasal
74
Cukup jelas.
Pasal
75
Cukup jelas.
Pasal
76
Cukup jelas.
Pasal
77
Cukup jelas.
Pasal
78
Cukup jelas.
Pasal
79
Cukup jelas.
0 komentar:
Posting Komentar