oleh:
Danial Indrakusuma
Landasan
Yang harus terus menerus didapatkan dan dipasokkan oleh partai yang menyandang kata pelopor (vanguard)
adalah kesimpulan tentang kesadaran sejati massa—yang sesuai dengan
hukum gerak/dinamika/tahap obyektif sejarah masyarakatnya. Pengertian
kesadaran sejati massa tersebut adalah merupakan kesadaran YANG
SEHARUSNYA yang akan melandasi tindakan politik massa untuk menapak ke
tahap obyektif sejarahnya, karena memang kesadaran sejati itu lah yang
dikehendaki sejarahnya. Suatu tahap sejarah tak bisa dipenjarakan oleh
idealisasi kesadaran palsu, ia akan terus menerus menuntut amnesti
kesadaran sejati untuk pembebasan manusia dan alamnya. Di atas landasan
sejati itu lah partai (pelopor) seharusnya memimpin kemenangan sejati,
bukan kemenangan oportunis/Machiavelis (baca: memanipulasi kesadaran
palsu) yang mencelakakan.
Sejarah Menyimpulkan, Gerakan Merevolusionerkannya
Konsep
partai pelopor didasari asumsi keberanian—secara psikologis sering
dituduh sebagai kecongkakan—untuk menyimpulkan bahwa terdapat
kesenjangan antara kesadaran partai dengan kesadaran massa, sehingga
tugas utama partai adalah menghilangkan kesenjangan tersebut. Tuduhan
congkak segera bisa kita abaikan karena adalah hak absyah suatu partai
untuk menyimpulkan adanya kesenjangan tersebut dan menghilangkannya.
(Kesenjangan itu sendiri merupakan hasil historis penindasan yang
menyebabkan adanya strata masyarakat yang berpengetahuan dan yang tak
berpengetahuan.) Tuduhan tersebut sebenarnya hanya lah merupakan kasih
sayang yang dibalut idealisme (celaka!) kesejajaran manusia, sama sekali
tak ada gunanya. Memang, konsep tersebut bisa menjadi landasan bagi
pemaksaan yang fasistis; namun, konsep partai pelopor yang kita
maksudkan tak akan menjadi landasan seperti itu bila kenyataan
kesenjangan tersebut diterima—sebagai kerendahan hati (bila psikologis
ukurannya)—dan dihilangkan secara sukarela, sekali lagi secara sukarela.
[Keanggotaan partai pelopor itu sendiri harus merupakan keanggotaan
sukarela atas dasar penerimaan intelektual (cerdik) atas program dan
metode perjuangan partai.] Upaya menghilangkan kesenjangan kesadaran
tersebut merupakan upaya menolak Blanquisme—karena tak mungkin suatu
revolusi akan berhasil tanpa massa sadar; dan, sebenarnya, tak mungkin
pergi ke sorga sendirian. Itu lah mengapa partai pelopor hari-harinya
ditelikung oleh obsesi untuk berjuang bersama massa sadar. Memang,
kesadaran sejati merupakan hasil historis lingkungan material dan
sosial. Namun, bila tak ingin jatuh pada materialisme vulgar, upaya
partai (seterbatas apa pun) untuk mentrasfer kesadaran sejati
dimungkinkan. Buntutisme terhadap kesadaran palsu massa memungkinkan dua
hal: manipulasi bagi kepentingan kelas penindas; atau penyerahan
kepemimpinan politik kepada kelas di luar dirinya, kelas yang asing,
yang akan mengkhianatinya. Kesadaran sejati yang harus terus menerus
disebarluaskan (seluas-luasnya) kepada rakyat adalah: REVOLUSI
DEMOKRATIK SEPENUH-PENUHNYA, YANG HANYA BISA DILAKSANAKAN OLEH MASSA
TERTINDAS YANG SADAR DAN TERORGANISIR.
Upaya meraih dan
memassalkan kesadaran sejati menuntut syarat-syarat, menuntut
alat-alatnya. Upaya maksimal partai (kondisi subyektif) untuk memenuhi
syarat-syarat tersebut tentu saja tetap tak bisa keluar dari batas-batas
yang memagarinya (kondisi obyektif), bisa berhenti hanya di tepi
pagar-pagarnya—dan, bila tak maksimal, bisa jauh dari tepi
pagar-pagarnya, bahkan mungkin memandangnya pun tak sanggup. Membebankan
kesalahan secara berlebihan pada kondisi subyektif, tanpa melihat
keniscayaan kondisi obyektif, akan menimbulkan ketidakpercayaan pada
kemampuan partai, ketidakpercayaan pada kemampuan perjuangan. HABIS
SUDAH. Tapi hal tersebut bukanlah apologi untuk memaklumi (understand)
ketidakmampuan subyektif yang tidak sepatutnya—ketidakpatutan tersebut
yang harus disimpulkan dan dicari jalan keluarnya. Pengertian (understanding)
terhadap kondisi subyektif tersebut hanya lah merupakan toleransi bahwa
kondisi subyektif itu sendiri merupakan hasil historis. Setiap tahap
sejarah partai harus dilihat sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat
tersebut—dalam makna merebut alat-alat untuk memassalkan kesadaran
sejati yang dibutuhkan suatu tahap sejarah. Semakin kukuh dan meluas
kesadaran sejati di kalangan massa, maka semakin melenyap makna partai;
dan hal tersebut akan sejalan dengan semakin hilangnya
penindasan/penghisapan.
Karena itu, pertanyaannya adalah:
Saat menjatuhkan Soeharto, mengapa massa tak sanggup mendirikan Dewan
Rakyat atau Komite Rakyat?; atau mengapa massa setuju Pemilu, tidak
memboikotnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa
dijawab dengan: analisa historis apakah terdapat kondisi obyektif bagi
perluasan kesadaran sejati massa; bila tak ada, maka pertanyaannya: dari
mana massa massa memperoleh kesadaran palsunya; dan bagaimana kondisi
subyektif meresponnya.
1965. Bukan saja
merupakan tahun terbukanya pintu gerbang bagi akselerasi modal yang
lebih tinggi, bagi perluasan geografi modal, namun juga adalah pintu
gerbang bagi penataan formasi modal yang baru (baca: penghancuran modal
lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama, guna menetapkan karakter
pemilikan modal baru (dengan watak politik yang lebih loyal terhadap
kekuasaan baru yang sedang mengakomodir masuknya modal asing). Takdir
akhir bagi modal priyayi-priyayi patron Partai Nasional Indonesia (PNI),
yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital);
takdir akhir bagi industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang
masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh priyayi-priyayi yang
tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis
nasional (indigeneous); takdir akhir bagi industri kecil
swasta, yang kuno—terutama tak massal—dan tak menarik, tak relevan,
seketika dibandingakan dengan pencerahan barang-barang baru,
barang-barang Barat. Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap
modal Barat—merchant capital dan industri kampungan borjuis
kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana
trilyunan dollar modal baru dari Barat—tenaga produktif kelontongan
justru memang pantas dilumatkan (anarkisme) karena tokh tak bisa menjadi
basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru dari Barat
tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experience-nya)
pun dianggap kelontongan, yang tak relevan di hadapan rencana
rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan
borjuis kecil sekolahan sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman
hantu komunis. Jadi, anarkisme (baca: pembantaian) terhadap mereka pun
memang bisa masuk ke dalam pembukuan (harian) Barat. Oleh-oleh
pencerahan trilyunan modal Barat, dengan imbalan kado 3 juta bangkai
manusia dan pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia
sampah/parasit bagi modal Barat tersebut adalah pertukaran yang pantas
bagi Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis
tenaga produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak
ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3 juta anggota dan 10 juta
simpatisan komunis, yang mungkin akan “tak rasional”, MENOLAK oleh-oleh
dari Barat, atau Go to Hell with Your Aid!. Bravo! Pintu
gerbang memang sudah didobrak kesatria borjuis, yang datang dari Barat
untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai
pertanyaan suku anak dalam mayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin
ajaib, siapakah kami?” Dijawab oleh sang penabur modal (dari Barat):
“Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat pra-borjuis; engkau lah yang
akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis, seperti kami, dari
Barat.”
Di tahun 1965, di dalam masyarakat pra-borjuis
yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut kesatria modal dari
Barat itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari:
1
TENTARA,
yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar
40-50-an. Hasil dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari
pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil dari euphoria perjuangan
bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Mereka yang dominan
adalah hasil dari dua yang belakangan; dan yang pertama, bila pun masuk
ke dalam struktur kekuasaan bersama dua yang belakangan, kehilangan elan
gagasan-gagasannya—dengan demikian hilang pula elan
kekuasaannya—terbuang atau adaptatif. Tentara-tentara didikan KNIL—yang
sedikit-banyak memboyong konsep tentara profesional masyarakat borjuis
(dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib masyarakat
borjuis)—dalam proses revolusi nasional, terbukti benar-benar tipis
keimanan borjuisnya, hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan
bersenjata versus perjuangan diplomatik. Dan konsekwensinya, protes dan
tuntutannya, adalah: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat
politisi (sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi
ABRI); politisi tak bisa mengurus kemenangan revolusi nasional, kerjanya
cuma bertengkar—demokrasi mereka pahami sebagai bertengkar; pertahanan
rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan
struktur administrasi pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain,
yang intinya: “Kami priyayi (kebanyakan priyayi jadi-jadian), yang
karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, harus punya kesempatan
menjadi elit kekuasaan—namun, tak mungkin terpikir oleh kami menjadi
borjuis. Itulah juga alasan mengapa kami mendaftarkan diri untuk dididik
di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat,
kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca:
kaki tangan kolonial) yang, sebenarnya (menurut doktrin tentara
professional), diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil di
luar tangsi, hidupku seharusnya hanya di sekeliling tangsi dan ke luar
tangsi bila ada perlawanan bangsaku yang tak bisa diatasi secara
politik. Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah. Apa yang
kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku
diajarkan menghargai, takzim akan, tata tertib masyrakat borjuis seperti
di Eropa—menghargai hak-hak manusia, sebagai individu sekalipun, yang
menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kau tak ada manipulasi
kolonialisme terhadap demokrasi (di bumi jajahan)? Breidel,
Schoolverbood, Digul adalah penghianatan terhadap ibu (demokrasi) Eropa.
Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikan, bisa
melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak
pernah diajarkan punya keyakinan seperti itu; Islam-Islam itu,
komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan seperti itu,
melawan—walaupun, sebenarnya, mereka tak mengerti apa itu Eropa, dan tak
punya kepercayaan bahwa, sebenarnya, demokrasi Eropa juga merupakan
basis bagi populismenya (baca: kerakyatannya), Eropa juga yang
mengajarkannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya
keimanan seperti itu. Dan, bagi kami, rasionalisasi Hatta tak boleh
memasukkan penghapusan dwifungsi ABRI. Kami setuju pada rasionalisasi
Hatta (yang tak menghapuskan dwifungsi ABRI) karena dengannya kami bisa
menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke
komunis. Kami harus mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan
tinggi, yang menjadi pimpinan tentara dan tak ditangsikan. Kami memang
tak ditangsikan, namun kami tak berdaya di hadapan gembel-gembel PETA,
yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun, lebih baik daripada tak
berdaya di hadapan gembel-gembel tentara komunis. Kami kira adalah baik
bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit) lulusan Breda,
apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah
dilibas radikalisme/militansi kerakyatan borjuis kecil pra-borjuasi.
Kekalahan
Rusia oleh Jepang tahun 1905 dan kemenangan-kemenangan Jepang di Asia
dalam Perang Dunia kedua serta, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda
di Indonesia dianggap sebagai kemenangan Timur (Rakyat) atas Barat
(penguasa/elit)—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-kabupaten.
Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi “Sang Pembebas”, sejak dari pantai
hingga ke pedesaan. Kaum miskin kota, pengangguran, gembel-gembel,
rame-rame daftar jadi PETA dan Heiho. Yang mereka dapat di PETA dan
Heiho: “Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin
adalah aib yang harus dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara,
karena tentara adalah penguasa negara sesungguhnya, bahkan penguasa
negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara, dan kami, Nipon, sudah
menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian.
Marilah menjadi tentara, tentara bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi
tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap saudara
tuamu penipu. Disiplin, kekerasan, adalah ilmu untuk bangsamu. Masukkan
rakyatmu dalam rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan,
pemuda dan lain-lainnya, agar bisa dipekerjakan dengan keras, diawasi
dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan kami berikan
kemerdekaannya—dan demi kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon
pemimpin bangsamu yang merdeka merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya
karena, menurut mereka sendiri, menerima Jepang bukan lah kolaborasi
tapi taktik sambil menyelam minum air, karena Nipon tetap mengajarkan
nasionalisme (baca: anti Barat) dan, dengan taktik tersebut, pimpinan
perjuangan kalian tidak akan dibasmi Jepang. Ya, patuhi lah pimpinan
perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan dari kami, yang
merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), yang
tabah menghadapi kematian ribuan Romusha demi taktik, dan yang rela
menyerahkan perempuan-perempuan bangsanya untuk menghibur kami, 'Sang
Pembebas'." Disiplin dan kekerasan di tangan tentara-tentara PETA dan
Heiho hanya berlaku di dalam tangsi namun, di luar tangsi, ketika
mengangkangi kehidupan sipil, hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara
disiplin (industri) borjuis dengan disiplin tentara PETA—sedangkan
disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa
keringat, saat menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan,
penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan imbalan kado 3 juta kaum kiri
yang dijadikan bangkai, dan ribuannya dijadikan buangan atau penghuni
penjara. Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata
inilah yang terus menerus sukses mengangkangi negara, dan terus menerus
juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi AMN dan AKABRI—serta
menempatkannya di (daerah-daerah garongan) rumah-rumah sipilnya
dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh
dari pohonnya—gerombolan bandit ini memang dikepalai oleh tentara
didikan PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor, penyelundup dan
rentenir/KKN bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa—sudah menjadi kebiasaan
tentara menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan
tender, dan tukang pukul pedagang/pengusaha Tionghoa. Bisa kah kita
berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi borjuis? Ketika
mereka mencoba pun, ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami
kebangkrutan. Bisakah kita berharap pada borjuis tentara dadakan
tersebut? Menitip dendeng pada anjing. Sukses perwira-perwira KNIL
mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di
tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi
terpimpin, merupakan hadiah terbaik bagi gerombolan bandit didikan PETA
tersebut. Perwira-perwira KNIL, ibu pewaris kediktatoran tersebut,
akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA,
bukan karena mereka lebih pro-Barat—Barat tidak pernah mewarisi
dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan di tentara
demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan
peristiwa ‘65, lain tidak. Memang benar, bahwa untuk menghancurkan
masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam kediktaktoran pabrik retorik
nasionalis-populis selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus
tergantung pada tentara. Namun, untuk membangun masyarakat borjuis
maju—dalam muka kasih sosial-demokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak
pernah mengajarkan bahwa hal tersebut bisa dikelola oleh dwifungsi
ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme. Senang atau tak
senang, sudah diakui, oleh Barat sekalipun, bahwa hal tersebut harus
dikelola borjuasi Tionghoa—yang diperas oleh senjata, seragam birokrat,
dan sentimen SARA/diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo (oleh
manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagang-pedagang kelontongan muslim,
dan oleh politisi-politisi begundal kolaborator Belanda), kekalahan
demokrasi liberal tahun 50-an (oleh Soekarno-Tentara-PKI), dituntaskan
oleh dwifungsi ABRI/Orde Baru dalam kondisi yang berbeda—demokrasi
Tirtoadisuryo cenderung menggapai nasionalisme dan dalam lingkup modal
kolonial di sektor agrikultur; demokrasi liberal tahun 50-an ada dalam
lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari
agen-agen modal asing, terutama setelah nasionalisasi; dan dwifungsi
ABRI/Orde Baru mencoba beriringan dengan modal yang skalanya lebih luas,
baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas
rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif,
infrastruktur penunjangnya, finansial dan jasa-jasa lainnya, bukan
langsung ke agrikultur. Bisakah? Dalam logika historis, agen perluasan
modal Barat seperti itu hanya bisa ditangani oleh borjuasi
Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia menghancurkannya, tak akan ia
terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan
bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah tawar menawar (baca:
pemerasan) Soeharto pada Barat, yang sudah lama—sejak mengirim
Carter—meminta Soeharto turun secara terhormat. Barat sadar,
sesadar-sadarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang
besar dan jalinannya dengan sistim kapitalisme global yang luas dapat
digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sadar-sadarnya bahwa
gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi
ABRI yang akan seperti anak-anak yang suka melempari rumahnya sendiri
bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, Barat sadar akan siasat
untuk menekan resiko terhadap modal.
Yang merupakan hasil
dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi
nasional, terutama mulai tahun 1949-an, adalah borjuis kecil
kota—terutama dari kaum miskin kota—dari lapisan masyarakat di
sekeliling kota-kota pusat propinsi (istilah sekarang), sedikit sekali
dari pedesaan (ingat, istilah “pergi ke front” kongkritnya adalah pergi
ke desa), dan biasa disebut laskar-laskar rakyat, baik dari Islam,
komunis, maupun nasionalis. Setelah komandan-komandan Naga Bonar
dilikuidasi dan diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi
komandan-komandan kecil, tentara-tentara kroco berpangkat prajurit,
sersan, paling tinggi rata-rata letnan. Sedangkan pangkat kapten sampai
jenderal (kebanyakan) dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA dan
tentara-tentara didikan KNIL. Proses integrasi tersebut juga adalah
proses kemenangan kepemimpinan tentara (yang kebanyakan) didikan PETA
dan (sebagian) tentara didikan KNIL. Watak populis (laskar-laskar)
menjadi basis bagi kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL
apalagi, dalam perjalanannya, mereka lebih dekat kepada politisi
sipil—itu artinya perjuangan diplomasi ketimbang (ke lapangan) angkat
senjata. Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya
hanya berdiri di atas dua basis—berhasil mengurung dan mengusir tentara
Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan sejata, lebih baik ke gunung
(ketika ibukota Yogyakarta diduduki)—plus tambahan serangan umum (lebih
tepat sebagai serangan Jogja) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10
November, 1945, di Surabaya, yang sebenarnya merupakan perang
internasional modern—dilihat dari persejataan sekutu pada saat itu—yang
lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan
(dalam skala tertentu politik), tidak pernah dijadikan titik tolak
potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak
dijadikan basis bagi pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih
bersih dari tentara-tentara didikan KNIL dan PETA. Perjuangan bersenjata
dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian
hanyalah jadi kelompok-kelompok penggangu Belanda (tidak efektif) dan
parasit-parasit pedesaan—mereka sudah terbiasa menjadi golongan istimewa
yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi
kebutuhan sendiri (seperti dalam Tentara Pembebasan Mao). Metode
perjuangan bersenjata yang menyatu dengan pergolakan massa seperti di
Surabaya tidak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka namakan
“TNI-Rakyat.” Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir
dalam apa yang tidak bedanya dengan dwifungsi ABRI—menjadi tentara
pembantu wedana/camat, tentara pembantu lurah dan sebagainya di landasan
pengabsahan untuk membantu sipil menunjukkan bahwa administrasi
Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional,
tentara-tentara kaum miskin kota ini makin menjadi-jadi pragmatismenya,
sektarianismenya, kekakuannya (hitam-putihnya), dan kekerasannya.
Perselisihan berlatarbelakang ideologis selalu diakhiri dengan
culik-culikan, kudeta-kudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang
kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus sampai tahun ‘60-an dan
tahun ’65. Bacaan-bacaannya pun banjir darah, tak ada yang namanya
toleransi demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak
ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang kaitan tentara dan
demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa
perang, bila kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di
masa perang. Problemnya adalah tak adanya integrasi (baca: kepatuhan)
tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa
berkubang dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil
bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul dan tegas—sebenarnya
sektarian, pragmatis dan keras/berdarah. Hasilnya: dalam perang
tersebut, berapa tentara Belanda yang mati dibanding TNI yang mati? Jauh
lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi nasional tersebut, berapa
orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda dibanding yang mati oleh
orang-orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang
Indonesia sendiri. Dan lebih baik dikatakan bahwa romusha-romusha ini
mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh
Jepang, karena hal tersebut tidak terjadi di negeri-negeri lain yang
pimpinan-pimpinannya bukan kolaborator Jepang. Kasus Westerling pun
membuktikan bahwa tentara-tentara tersebut kebanyakan sedang bersembunyi
di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus Bandung Lautan Api dan hijrah ke
Jogja membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan
politisi-politisi didikan Eropa tak pernah sampai berhasil mapan
menanamkan aturan main toleransi demokrasi kepada tentara-tentara
borjuis kecil ini maupun kepada politisi-politisi buatan dalam negeri,
selalu dikalahkan, diganggu, disabot, dikudeta—misalnya, terlepas
benar-tidaknya program front perjuangan, mereka tak punya aturan main
toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang
terlibat di front perjuangan bukan lah atas komitemen (baca: pengabdian)
atas program tapi atas (persisnya) oportunisme borjuis
kecil—menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan dan melepas
tanggung jawab (baca: memfitnah) agar tidak disidangkan. Dalam vakum
proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka inilah yang
merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau
yang mereka tuduh pro-Belanda. Tentara-tentara borjuis kecil yang
berlumuran darah, koruptor dan penjarah tersebut menghadapkan pertanyaan
kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat revolusi nasional;
kemenangan tentara-tentara borjuis kecil ini (baca: bandit-bandit yang
secara legal dipersenjatai), yang menjarah lorong-lorong kehidupan
sipil, menghadapkan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas kah
revolusi demokratik? Nasionalisme tentara-tentara borjuis kecil di tanah
jajahan, yang dibalut populisme—“kami bebaskan kalian, rakyat, dari
kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”—terbukti tak cukup untuk membuat
mereka takzim pada demokrasi.
Barat sadar itu semua akan
menggangu modal—tahap awalnya memang masih protes melingkar terhadap
pelanggaran hak-hak azasi manusia (protes terhadap pembantaian,
pembuangan, dan pembuian tahun ’65 datang belakangan,)—karena itu
generasi AMN dan AKABRI yang berhasil lulus “saringan” (yang sarat
dengan KKN dan kreteria kepatuhan) diikutkan dalam program pelatihan di
Amerika, yang diberi isian kurikulum hak azasi manusia. Disenangkannya
Amerika sekadar sebagai basa-basi diplomatik dan etalase demokrasi,
namun bukan atas kesadaran untuk mengamankan pengembangan masyarakat
borjuis, menyelamatkan modal. Karena, menurut tentara-tentara
pra-borjuis tersebut, keberhasilan kerja mereka bukan diukur dari
bagaimana mereka membantu mengembangkan masyarakat modal yang modern,
tapi diukur dari kejagoannya menindas lahan-lahan perlawanan yang makin
lama makin banyak—perlawanan kaum intelektual, perlawanan mahasiswa,
perlawanan kaum tani, perlawanan kelas buruh, perlawanan rakyat Maubere,
perlawanan rakyat Papua, perlawanan rakyat Aceh; atau, dalam bahasa
Marxis, bukan atas tolak ukur sogokan Bonapartis, bukan dari tolak ukur
sogokan sosial-demokrat.
2
Kaum teknokrat pro-Barat.
Di tahun 1965, masih tersisa teknokrat pro-Barat peninggalan masa
revolusi nasional. Pengertian pro-Barat bermakna lebih condong ke
sosial-demokrat Eropa. Mereka tak pernah terpakai lama pada masa
revolusi nasional, dilibas populisme anti-Barat. Apa yang diperbuat ibu
Eropanya? Tak ada. Mereka dikhianati ibu Eropanya sendiri—di Indonesia,
modal Eropa memang lebih pengecut. Mereka berpaling pada
demokrasi-liberal Amerika, ibu yang lebih mengasihinya. Itulah mengapa,
bagi teknokrat yang lebih berani, mereka rela diuji dalam gerakan
separatis, sebagai ujian dengan imbalan diadopsi oleh Ibunya yang baru,
Amerika. Ditinggalkannya rumah akedemiknya di tanah tercinta untuk
menyongsong ibu adopsi barunya, tanpa sedu sedan, apalagi karena ia
telah menitipkan bayi-bayinya—yang ternyata lebih moderat—di rumah
akedemiknya, yang masih sayup-sayup (karena sembunyi-sembunyi)
mendengarkan lagu-lagu teknokrasi Amerika. Sebenarnya, tak perlu kita
bersyakwasangka bahwa kehati-hatian mereka itu adalah cermin
kepengecutan mereka; mereka sedang menguji militansinya dalam menumpuk
gandum-gandum keyakinan akan kebenaran teknokrasi Amerika. Di tahun ’65,
bapak tentaranya lah yang memberi pekerjaan di perusahaan bangsa. Heran
kah: dalam perjalanan perusahaan bangsa, tak bisa lagi ia mengadu pada
ibu Amerikanya, tak pernah digubris? Satu-satunya tempat ia mengadu
adalah ibu spiritual akedemiknya: “Ya ibu akedemikku, teganya engkau
melepasku dengan bekal rumus yang tak cukup. Ternyata aku hanya lah
kanak-kanak dalam memecahkan rumus modernisasi liberal plus dwifungsi
ABRI.” Keluhan lirih, bila saja mereka memiliki (sedikit saja) kejujuran
intelektual.
3
Borjuasi Tionghoa.
Bukan main. Tak pernah lekang kekagumanku atas isi sejarah hidup
mereka: perjuangan hidup di segala zaman, di tengah-tengah pemeras
bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA.
Rasialisme tersebut lah yang menyulitkan mereka ditransformasikan
menjadi aset revolusi. Para pejuang anti-diskriminasi yang hanya
berkesimpulan bahwa akar dari diskrininasi tersebut semata-mata adalah
ratusan kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif, tanpa melihat
kesejarahan tentara—berujung dalam dwifungsi ABRI—yang memblokade
toleransi demokrasi, dan tanpa mempertimbangkan sentimen agama yang
di-SARA-kan, adalah kurang benar. Jalan keluar affirmative policy
seperti di Malaysia—yang landasannya tetap saja rasis dan anarkis
terhadap tenaga produktif (manusia Tionghoa)—adalah kesalahan lainnya:
menghentikan laju para pelomba (orang Tionghoa) yang sudah menang,
menariknya kembali agar bisa melakukan start kembali bersama orang
Melayu. Menarik untuk mendengarkan kekesalan borjuis pribumi—lebih keras
disuarakan oleh borjuis kecilnya—“Tidak akan ada persamaan dengan
Cina-Cina itu, tetap saja mereka akan menguasai ekonomi, karena mereka
lah yang sudah dan akan terus menguasai jaringan distribusi (pemasaran),
jaringan bahan-bahan produksi, dan jalur-jalur teknologi. Tak akan rela
mereka menyerahkan jaringan dan jalur-jalur dalam negeri atau dari/ke
Singapur, Malaysia, Hong Kong, Taiwannya (kenapa tak ditambahkan Jepang
dan Barat) kepada kita, Mereka malah akan semakin menggila dalam
persamaan.” Latar belakang historis Tionghoa tersebut lebih ke condong
ke mereka yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Inggris serta
Belanda; Inggris membawanya ke Sumatera (terutama bagian timur) dan
Kalimantan (Borneonya Malaysia dan Brunei), serta Belanda membawanya ke
pesisir Jawa. Selain itu Portugis membawanya ke Timor Timur. Sedangkan
yang di Cirebon dan Demak lebih cepat terintegrasi karena kemudian
bernaung pada yang telah menjadi salah satu penguasa feodal Islam. Ada
juga mereka yang langsung dibawa oleh bangsawan-bangsawan Tionghoa
seperti yang di Semarang. Namun, sebagian besar (terutama yang di
pesisir, dan yang kemudian bergerak ke bagian dalam, yakni pedagang
keliling dan pelarian) adalah mereka yang bisa digolongkan budak-budak
merkantilis, kuli-kuli perusahaan-perusahaan merkantilis, dan para
pedagang kelontongan perantara merkantilis (atau kemudian penguasa
kolonial). Kerajaan-kerajaan Jawa ditaklukan merkantilisme, dan
kolonialisme mendesak raja-rajanya menjadi raja-raja pedalaman, menjadi
raja-raja kampung, yang sudah tidak menguasai laut lagi, menjadi agraris
sampai ke sumsum tulang belakang budayanya. Sedangkan ekonomi pesisir
adalah perdagangan besar merkantilis Eropa, perdagangan dan industri
kelontongan orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab, dan orang-orang Jawa
Islam. Keuletan, kerajinam, disiplin baja, dan keluwesan
mereka—misalnya ketika memperkenalkan barter, kredit, renten dan ijon
saat masuk ke daerah dalam dan pedalaman—yang membuat mereka setahap
demi setahap menguasai ekonomi perdagangan eceran, terutama setelah
mereka melakukan persatuan-persatuan modal di atas basis klan, saudara,
kampung asal, dan pertemanan. Kemajuan mencolok, terutama di daerah
pesisir utara Batavia (Jakarta), mengkhawatirkan penguasa Belanda (baca:
VOC, perusahaan merkantilis Belanda). Kekhawatiran tersebut
diselesaikan oleh pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Batavia
Utara. Musnah kah mereka? Tidak. Pada Akhir abad 19 sampai awal abad ke
20 saja mereka adalah penulis-penulis novel dalam bahasa lingua franca pertama
(lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan bank sendiri
(lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan sekolah sendiri
(lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa memiliki koran sendiri (lebih
dahulu dari “pribumi”), sudah bisa bersatu dan menggunakan alat boykot
(sebelum “pribumi” mengenalnya) terhadap monopoli Belanda—ternyata
Belanda pun memang tergantung pada kaki tangan perantaranya tersebut.
Mereka juga memberikan contoh nasionalisme dan modernisme bagi “pribumi”
ketika mereka menyebarkan atmosfir nasionalisme Boxer Rebellion
di kalangan orang-orang Tionghoa konservatif. Mereka juga yang mulai
masuk ke pedalaman memberikan basis bagi masuknya desa dalam jalur
distribusi dan pemasaran kota, dan memberikan basis bagi perkawinan
campuran, serta memberikan basis bagi keterlibatan mereka dalam revolusi
nasional—mereka adalah para pemasok, penyelundup-penyelundup logistik
dan persenjataan revolusi nasional melalui tongkang-tongkang dan
kapten-kapten Tionghoa yang bekerja di kapal-kapal dagang Belanda.
Perkembangan positif tersebut dihancurkan kembali oleh rasialisme PP
10—adakah perlawanan resmi dari kaum demokrat atau PKI terhadap PP 10
tersebut? TIDAK ADA. Kecuali pribadi Pram, yang membuat ia dijebloskan
ke penjara. Setelah PP 10 itulah keluar berbagai macam kebijaksanaan
diskriminatif, yang diteruskan dan diperbanyak oleh Orde Baru.
Pedagang-pedagang “pribumi” dan Arab, yang kalah saingan, mulai saling
menghasutkan kecemburuan mereka yang dibalut sentimen SARA—pembentukan
ronda anti-cina pedagang-pedagang batik Jawa-Muslim dan pembantaian
massal (banyak dengan cara penyembelihan) yang dipimpin/dihasut oleh
pedagang-pedagang Jawa Muslim di Kudus. Cara tersebut kemudian menjadi
solusi orang-orang “pribumi” dalam melampias kemarahannya terhadap
kekalahan dan kemiskinan, berkali-kali terjadi baik dalam masa Soekarno
maupun pada masa Orde Baru. Bagi penguasa Belanda dan Orde Baru cara
tersebut adalah upaya mencari kambing hitam dalam mengalihkan perhatian
orang-orang “pribumi” terhadap problem riilnya—apalagi bila saat
kesadaran massa (dalam memahami penyebab kekalahan dan kemiskinannya)
mulai cenderung mengarah ke penguasa. Sekarang ini, Yahudi bukan lagi
pemilik tunggal kreativitas progrom. Tumpul kah kemampuan ekonomi
orang-orang Tionghoa oleh PP 10? Tidak. Pengusiran mereka ke kota
menyebabkan ekonomi Kota seperti mendapat tambahan enerji, tambahan
tenaga produktif dalam mengelola jalur pemasaran, bahan baku, dan jalur
teknologi. Matikah sentimen SARA? Tidak. Cuma dipindahkan ke kota-kota.
Karena tidak semua orang-orang Tionghoa itu kaya dan pedagang, dan juga
karena agitasi-propaganda PKI, maka mereka mulai terlibat dalam
aktivitas politik—diakomodir sebagai anggota PKI atau dalam ormas yang
dipengaruhi PKI, BAPERKI. Bahkan mereka bisa masuk dalam jajaran
pimpinan partai dan kabinet Soekarno. Tahun ’65, adalah penjara dan
pembunuhan bagi orang-orang Tionghoa PKI dan BAPERKI, serta tawaran
untuk kembali (secara sukarela) ke RRT (Sekarang RRC). Barat khawatir
pemaksaan/pengusiran orang-orang Tionghoa; Barat khawatir tidak punya
agen-agen bagi modalnya. Soeharto pun tentu akan khawatir bila kaki
tangan pengelola modalnya, Liem dan Bob Hasan, terusir. Babak baru tahun
’65 adalah takdir historis bagi rezeki nomplok mereka, senang atau
tidak senang. Kepercayaan Barat/Jepang dan pemerintah, bahkan
individu-individu tentara dan birokrat, terhadap orang-orang Tionghoa
untuk menjadi agen-agen dan pengelola modalnya tak terelakkan. Apalagi
ketika bisa diintegrasikan dalam jalur-jalur dan jaringan Singapura,
Hong Kong, Taiwan dan Jepang, mula-mula di perdagangan dan jasa,
kemudian di industri manufaktur dan perbankan. Sektor ekstratif yang
diisi oleh modal Barat (kemudian Jepang) setahap demi setahap dimasuki
melalui jalur sebagai supplier dan sub-kontraktor, apalagi pada
sektor ekstratif yang dikuasai negara, akselerasi masuknya lebih cepat
(karena KKN). Dalam duapuluh tahun kekuasaan Orde Baru, selain oleh
orang-orang asing dan (sedikit pribumi) praktis seluruh sektor industri,
jasa, perdagangan, dan keuangan, dari yang ringan sampai yang berat,
dari yang berteknologi rendah sampai yang tinggi, dari yang asli sampai
yang palsu, semuanya dikuasai orang-orang Tionghoa. Bahkan kriminalitas
tingkat tinggi dalam perbankan, keuangan dan narkotika pun dikuasai
mereka (bekerjasama dengan kaki tangannya, tentara-tentara,
birokrat-birokrat dan preman-premannya). Solusi terhadap peningkatan,
perluasan akselerasi dan volume modal di tengah-tengah pemeras
bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA adalah:
kenaikan harga dan penyelundupan.
4
Borjuasi “pribumi".
Kenapa harus dibedakan dengan borjuasi Tionghoa, sehingga harus ada
penjelasan? Perbedaannya paling-paling dalam hal bahwa borjuasi
kelontongan “pribumi” akan lebih cepat selesai sekaratnya, lebih cepat
matinya, karena mereka bukan lah bagian dari jaringan formal—berdasarkan
persetujuan, bukan melalui mekanisme pasar bebas—yang mendapatkan
bantuan dari borjuasi besarnya (baik dari yang “pribumi” maupun dari
yang Tionghoa). Borjuasi kelontongan “pribumi” hidup dalam belantara
hutan survival of the fites: “Kita sih tinggal tunggu mati
saja. Semua ujung-ujungnya di Cina, yang punya modal. Pemerintah juga
ng’ga bantu kita.” Sedangkan borjuasi kecil Tionghoa merupakan jaringan
formal borjuasi besarnya, dibantu pengadaan barang dan permodalannya,
merupakan kaki tangan borjuasi besarnya. Sedangkan perbedaan
non-ekonomis antara borjuasi “pribumi” dengan borjuasi Tionghoa adalah:
borjuasi “pribumi” sarat dengan sentimen rasialis. Kebencian terhadap
kroni lebih condong pada kebencian karena Soeharto lebih dekat kepada
borjuasi Tionghoa. (Dalam perkembangan formasi borjuasi, ada hal yang
penting juga untuk dicatat: meningkatnya para borjuasi muda, terutama
anak-anak keluarga Soeharto, kerabatnya, teman-temannya dan anak-anak
pejabat, yang lebih bisa bekerjasama dengan borjuasi Tionghoa.)
5
Angkatan ’66 dan kelanjutan yang berbeda.
Pram tidak mau memberikan komentar mengenai Angkatan ’66, karena tak
bernilai, katanya. Patut dimaklumi, (langsung tidak langsung) mereka
juga bertanggung jawab atas pembantaian 3 juta manusia dan pemenjaraan
serta pembuangan ribuan anggota PKI, simpatisannya, bahkan orang-orang
yang tak tahu menahu. Namun ada sisi lain yang perlu dikomentari:
bagaimana “calon demokrat” tersebut tak berdaya di hadapan tentara.
Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kanan di bawah naungan bekas Partai
Sosialis, PNI-kanan, partai-partai Islam dan partai kiri (Murba). Dalam
demokrasi terpimpin, dengan derajat yang berbeda-beda, mereka mendengar
sayup-sayup, membaca tanggung-tanggung bocoran-bocoran tentang
harapan-harapan Barat, modernisasi, demokrasi liberal dan
sosial-demokrasi. Termasuk juga di dalamnya adalah bocoran tentang
kediktatoran Stalinisme, yang mereka persiskan dengan demokrasi
terpimpin. Demokrasi sayup-sayup, demokrasi tanggung-tanggung tersebut
adalah: Barat “bebas dan modern,”—dalam pengertian mereka, bukan dalam
pengertian Barat. Sejak awal “demokrasi” (baca: “bebas dan modern”)-nya
Orde Baru, mereka sudah diuji di hadapan bangkai (banyak yang tanpa
kepala) 3 juta manusia dan pemenjaraan/pembuangan manusia (tanpa
pengadilan). Apakah benar bahwa bocoran “demokrasi” tersebut berasal
dari Barat? Tidak masuk akal, karena “kebebasan dan kemodernan” mereka
menyetujui pelanggaran terhadap kemanusian—padahal Eropa telah sanggup
menyelesaikan Eropa barbar dan Eropa fasis; Amerika telah sangup
menyelesaikan Amerika perbudakan. Atau memang ada teori universal yang
mengatakan bahwa demokrasi Barat akan dimanipulasi begitu sampai di
tanah negeri-negeri Dunia Ketiga, manipulasi kolonialisme atau
imperialisme terhadap demokrasi? Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa
kesatria “kebebasan dan kemodernan” yang sedang sekarat, kalah secara
politik dan ideologi, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Mereka
adalah mahasiswa-mahasiswa suci, bersih dari pekerjaan
agitasi-propaganda, bersih dari pengorganisiran massa, bersih dari
pekerjaan mobilisasi massa. Suci dan bersihnya borjuis kecil. Mereka
mahasiswa-mahasiswa cengeng ketika menghadapi gempuran dari ideologi dan
politik lain: mencari gantungan kepada unsur kelompok penggempur (baca:
penindas) yang lebih kuat dan keji, tentara. Memang, suci, bersih dan
cengengnya borjuis kecil. Sebenarnya, sejak sebelum tahun ’65, demokrasi
mereka sudah sayup-sayup dan tanggung-tanggung karena, sebagai orang
kalah malah mengadu, membudak pada tentara. Piala “kebebasan dan
kemodernan,”—yang seharusnya dipersembahkan atas jerih payahnya
mendalami dan membumikan demokrasi—tak pernah ada dalam kalkulasi
mereka; bagi mereka, makna “kebebasan dan kemodernan” adalah yang
dihaturkan tentara: kemenangan pembasmian brutal komunisme. Kemesraan
sejoli (mahasiswa-tentara) yang gembira, bahagia, dan menggila:
sorak-sorai mahasiswa saat membawa tukang pukul tentara yang
pandai/keji; sorak-sorai tentara saat memboyong legitimator mahasiswa
yang bodoh/keji. Pada saat itu, tentara akan mendapat kesulitan bila
tidak mendapat legitimasi rakyat atas tindakannya, itulah sebabnya,
dengan perlindungannya, ia turunkan budak-budak mahasiswanya untuk
memprovokasi rakyat turun ke jalan—rakyat yang sedang miskin, yang
sedang pragmatis. Setelah itu, tentara, bersama mahasiswa dan pemuda
yang paling kanan, langsung atau tak langsung, membantai
saudara-saudaranya sendiri, sampai 3 juta bangkai—sekali lagi, banyak
yang tanpa kepala. Selain itu, makna mahasiswa yang paling kanan adalah
segera, setelah lulus, mengemis, mengetuk-ngetuk pintu-pintu kabinet,
pintu-pintu birokrasi-birokrasi tinggi, pintu-pintu tender pemerintah,
agar diperbolehkan masuk ke dalamnya. Mereka bodoh dan keji. Ada juga
yang naif: itulah mereka yang sadar akan mudahnya upaya pengembangan
demokrasi digagalkan tentara; itulah mereka eksponen ‘66 yang pada tahun
’74 berada di belakang layar mendukung MALARI—mereka pikir MALARI akan
menang. Mendukung demokrasi karena harapan akan menang (tanpa
berkeringat dan tanpa resiko), atau bukan mendukung demokrasinya itu
sendiri, oportunis tulen—sejak itu mereka tak mendukung lagi demokrasi
(walaupun pemaknaan demokrasi sudah semakin maju), karena mereka tak
memiliki harapan menang. Segelintir dari mereka, bersama-sama dengan
segelintir pelaku-pelaku MALARI dan gerakan mahasiswa ’78, masuk dunia
akedemik dan LSM, selebihnya menjadi birokrat, teknokrat dan kapitalis
kelontongan. Seperti habis gelap terbit lah terang saat menyaksikan
menjamurnya LSM dan sedikit propagandis-propagandis akedemik—yang baru
menggondol gelar ilmu-ilmu kemanusiaan yang “demokratik dan pro-rakyat”.
Digantungkannya harapan kaum muda pada mereka; berduyun-duyun kaum muda
diserap LSM-LSM, berduyun-duyun kaum muda sowan pada
akedemisi-akedemisi tersebut. Namun, ternyata, habis terang redup lah
terang; karena “demokrasi” mereka masih terbatas, masih “demokrasi”
tanpa kiri/komunisme, masih “demokrasi” di sisi tentara, masih
“demokrasi” tanpa massa, masih “demokrasi” tanpa perebutan kekuasaan
oleh rakyat, masih “demokrasi” tanpa radikalisme, masih “demokrasi”
tanpa militansi, masih “demokrasi” tanpa politik, redup, hening. Namun,
keredupan tersebut patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan
MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru
sebagai momentum konsolidasi untuk lebih dalam menindas oposisi, baik
dalam bentuk ideologi—pembangunan, P4, “demokrasi” Pancasila,
“demokrasi” Timur, “demokrasi” terbatas, “demokrasi” bertanggungjawab,
“demokrasi” bukan liberal bukan komunis, musyawarah mufakat bukan voting, kekeluargaan, gradualisme, "kesederhanaan", tepo seliro,
dan lain-lain dan lain-lain (yang makin mempertajam pencarian
dialektika “Apa yang sebaliknya dari semua itu)—maupun dalam bentuk
struktur politik penindasan—perluasan struktur intelejen, perluasan
struktur dwifungsi ABRI, korporatisme terhadap seluruh sektor
masyarakat, cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan
dunia pendidikan/akedemis, serta syarat-syarat hidup yang lebih ketat
terhadap media massa. Selain itu, juga redup oleh sogokan beberapa tahun
bom minyak. Keredupan tersebut menggelisahkan kaum muda, terutama
mahasiswa-mahasiswa yang tidak terserap oleh LSM dan kasak-kusuk oposisi
elit. Kegelisahan tersebut sebenarnya cerminan dari tertampungnya
tetes-tetes bocoran dari Barat juga (baca: alternatif Barat bagi Dunia
Ketiga) dalam bentuk populisme, sosial-demokrasi, dan skenario low intensity conflict-nya
LSM. Tetes-tetes bocoran Barat yang lebih sulit lagi ditampung—dan ini
hanya bisa ditampung melalui orang-orang yang selesai belajar di luar
negeri dan/atau oleh anak-anak muda yang mengoreki sisa-sisa literatur
lama yang dijuali pegawai-pegawai kejaksaan ke loakan—adalah
bacaan-bacaan progresif/revolusioner. Selain itu, bocoran Barat yang
patut diperhitungkan sebagai basis radikalisme/militansi adalah
liberalisme (baca: kebebasan) yang—walaupun masih bercampur dengan
warisan kekerasan populisme Indonesia—sanggup menyebabkan borjuis kecil
(terutama yang lapisan bawahnya) bertambah muak pada kemunafikan
tata-tertib sisa-sisa feodal kaum birokrat dan tentara. (Itulah
liberalisme yang dimaktub dalam entertainment barat, yang sarat kekerasan (violence), vulgar dan profane (dangkal). Kaum
muda ‘80-an, yang menerima bocoran iman progresif/revolusioner—di atas
warisan populisme dan radikalisme/militansi borjuis kecil (dari ibu
liberalisme entertainment)—setahap demi setahap bisa membuka
ruang demokrasi dengan AKSI MASSA (tentu saja setelah melambaikan salam
perpisahan pada metode-metode LSM dan kaum kiri moderat). AKSI MASSA
mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT
perjuangan—apalagi elit-elit politik dan PDI-Megawati belum turun ke
gelanggang politik (ekstra-parlementer) untuk memanipulasi massa,
kebanyakan masih menjadi kaum kolaborator atau gradualis. Dan kaum muda
tersebut memang masih sangat muda untuk sanggup menerima represi rejim
Orde Baru (yang menghalangi kaum muda memiliki alat-alat politiknya
sendiri—wadahnya, figurnya, korannya dan sebagainya). Pembentukan PRD
belum bisa dilihat sebagai jalan keluar oleh kaum pragmatis atau oleh
kesadaran palsu massa. Namun demikian, gerakan kaum muda itulah yang
sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, sedangkan elit-elit
politik dan partai-partai politik terkemuka (mainstream) hanyalah
menjadi benalu, parasit (tak tahu malu) terhadap konsep reformasi,
reformis gadungan (yang, setelah berkuasa, jangankan mengajak kaum muda
dalam perspektif pemerintahan mendatang, berterima kasih pun tidak—dalam
kalimat Pram: secangkir teh manis pun tak disuguhkannya). Setelah
kejatuhan Soeharto, terbuka lah ruang yang lebih luas bagi
peserta-peserta politik mainstream untuk memanipulasi kesadaran
palsu massa—namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa
pada manipulator-manipulator lainnya—misalnya, dukungan suara bukan saja
diberikan pada PDI-P tapi juga pada PKB dan PAN—dan, sebenarnya,
bersamaan dengan itu, propaganda kesadaran sejati dari mahasiswa dan
kaum kiri mendapatkan momentum, potensi, bagi perluasannya.
6
Partai-partai politik.
Partai-partai politik sisa-sisa (yang tersaring) pemilu pertama
(setelah kemerdekaan) makin tak bisa belajar demokrasi setelah dekrit
kediktatoran demokrasi terpimpin; suatu pertarungan (wajar)
partai-partai politik diselesaikan oleh kediktatoran; serangan
nasionalisme dan populisme dimenangkan dengan bersandar pada tentara dan
PKI. Serangan nasionalisme dan populisme sebenarnya syah-syah saja
selama ia bersandar pada aturan main demokrasi, aturan main TANPA
TENTARA—terlebih-lebih, tentara sendiri bukan mendasarkan
keterlibatannya guna membantu serangan nasionalisme dan populisme dengan
setulusnya, tapi serangannya bertujuan sekadar untuk menggelar
permadani merah dwifungsi ABRI, lain tidak. (Dan mengapa PKI
mendukungnya?) Sepanjang sejarah revolusi nasional (dengan “perang
kemerdekaan”), jalan tengah, dwifungsi ABRI, selalu mengendap-ngendap di
gang-gang gelap terorisme, bukan di boulevard demokrasi—yang
tak akan mengizinkannya hidup. Serangan populisme pra-borjuis dan
nasionalisme begitu gencar dan uletnya, sejak awal abad 20 tak pernah
padam—segala macam cara yang kontadiktif digunakan (dengan teror dan,
rencananya, akan ditutup dengan demokrasi liberal)—namun dijegal oleh
kediktatoran demokrasi terpimpin. Serangan-serangan nasionalis-kiri dan
komunis dalam demokrasi terpimpin—yang mendorong partai-partai Islam dan
partai sosial-demokrat ke sudut potensi kekalahan politik dan
ideologinya—dihadapkan pada serangan balik yang absyah: “Kami sedang
berhadapan dengan kediktatoran.” Perlawanan ideologi (membocorkan
“Kebebasan dan modernisme”) dan perlawanan politik (provokasi tentara)
memperkeras kediktatoran versus pemberontakan Islam dan gerakan
separatis yang, tentu saja, mengundang keterlibatan Barat dengan
legitimasi: melawan kediktatoran. Pra-borjuasi kurus kering yang sekarat
ini sedang mencari picu lonceng kematiannya dan tentara, tentu saja,
adalah malaikat pencabut nyawanya. Tentara mengerti itu: “Harus sekarang
juga, sebelum komunis berubah pikiran, sebelum komunis merubah jalan
parlementernya dan mempersenjatai diri—dapat dibayangkan apa jadinya
bila 3 juta anggota dan 10 juta sipatisan berkomitmen pada perjuangan
ekstra-parlementer/bersenjata. (Apakah benar mereka bisa mengambil jalan
ekstra parlementer, adakah latihan untuk itu?). Ideologi, politik,
ekonomi, dan sekaligus oknum-oknum pra-borjuis kurus kering ini dilumat
habis, demi rasionalisasi akselerasi dan peluasan modal yang lebih
gigantik, karena masa lalu pra-borjuis kurus kering tersebut sama sekali
tak berguna. Benarkah yang demikian itu adalah jalan keluar
Barat/kapitalisme terhadap Indonesia? Ada yang luput dari pelumatan:
dwifungsi ABRI yang bergandengan tangan dengan sisa-sisa feodal yang,
sebenarnya, menggerogoti modal. Nampaknya, sebagai toleransi terhadap
Dunia Ketiga, modal acuh tak acuh saja terhadap status liberalisme yang
didepak ke luar sistim. “Liberalisme” (yang berada di luar sistim
tersebut), sampai sejauh ini, memang tak bisa menyentuh hati politik
kaum “demokrat” sekalipun. (Namun, tidak demikian bagi hati, tangan dan
kaki politik kaum muda—bersamaan dengan over production, excess supply,
hati, tangan dan kaki kaum muda meracik liberalisme dengan polulisme
dan sosialisme sebagai karcis politik untuk: MENGGULINGKAN SOEHARTO.)
Itulah mengapa, terutama setelah fusi partai-partai pada tahun ’73, tak
bisa lagi diharapkan ada alternatif yang berlawan. Fusi partai-partai
itu sendiri merupakan upaya rejim Orde Baru untuk meniadakan kemandirian
partai-partai dan menyulitkan kehesivitas politiknya. Maka, di kepala
orang-orang partai, makin menjadi-jadilah anggapan bahwa strategi
gradualis adalah jalan terbaik—suatu formulasi strategi politik yang
selalu diganggu variabel-variabel: “Marahkah tentara? Tertutupkah arena
politik legal kami jika tentara tak mengizinkan?” Itulah yang membuat
mereka sulit keluar dari kubangan lumpur-hisap moderasi. Karena itu,
pada momentum 27 Juli, pimpinan-pimpinan PDI-Megawati selalu berusaha
memukul mundur tindakan anggotanya yang bisa mengancam arena politik
legal mereka, yang bisa menutup arena politik legal mereka (dan,
ternyata, walaupun mereka bertindak moderat, tetap saja Orde Baru
menutup arena politik legal mereka, tak diizinkannya PDI-Megawatu ikut
pemilu). Namun logika massa bergerak ke arah lain, menuntut serangan
langsung pada kediktatoran, karena kesadaran anti-kediktatorannya
benar-benar tersinggung dan telah merasa sanggup untuk: BERLAWAN. Itulah
mengapa hapusnya dwifungsi ABRI akan membuka perspektif formula politik
sesejati-sejatinya, karena hilang sudah variabel tentara dalam
kalkulasi politik politisi. Walaupun “oposisi” (PDI-Megawati) berhasil
berkuasa, namun kalkulasi politik tersebut akan tetap menjadi ayat-ayat
suci mereka—apalagi GOLKAR masih No.2 dan dwifungsi ABRI belum tuntas;
dan dilihat dari basis historis watak mereka, serta gradualnya dwifungsi
ABRI dihapuskan, maka kekuasaan yang mereka pegang tetap tak akan
memberanikan mereka bersandar pada dekrit formal penghapusan dwifungsi
ABRI—lagipula, bisakah dwifungsi ABRI ditutup oleh dekrit formal. Dan
bisa kah mereka bersandar pada cara lain: KEKUATAN MASSA? Makna
kemenangan dalam benak mereka adalah, pertama, tetap diizinkan
bermain dalam arena politik legal—yang, sebenarnya, harus direstui
tentara terlebih dahulu dalam kasak-kusuk di hotel-hotel; kedua,
dianugrahi cap sebagai kaum reformis sehingga memudahkannya memenangkan
pemilu—itu artinya (faktanya) adalah semata-mata membenalui penjatuhan
Soeharto (hasil keringat dan darah juang mahasiswa, kaum tani, dan kaum
miskin perkotaan).
Pertanyaannya: bisakah rakyat, yang
sedang menderita dan berlawan sekarang ini, menyimpulkan mereka sebagai
REFORMIS GADUNGAN? Tentu saja bisa, dan harus dipercepat oleh kaum
pelopor, SANG PANDAI API—yang bermimpi tentang negeri yang sayang pada
rakyatnya.
0 komentar:
Posting Komentar